Kamis 05 Sep 2019 00:29 WIB

Hong Kong Resmi Tarik RUU Ekstradisi

Anggota parlemen mengatakan penarikan RUU tidak akan mengubah sentimen publik.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ani Nursalikah
Seorang warga menonton pidato Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengenai ditariknya RUU Ekstradisi di sebuah toko elektronik di Hong Kong, Rabu (4/9).
Foto: AP Photo/Vincent Yu
Seorang warga menonton pidato Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengenai ditariknya RUU Ekstradisi di sebuah toko elektronik di Hong Kong, Rabu (4/9).

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam akhirnya resmi mengumumkan penarikan rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi, Rabu (4/9). RUU itu menjadi pemicu gelombang demonstrasi selama sekitar tiga bulan terakhir.

"Pemerintah akan secara resmi menarik RUU (ekstradisi) untuk menghilangkan kekhawatiran publik," kata Lam dalam pidatonya yang disiarkan stasiun televisi.

Baca Juga

Dia mengatakan prioritas pemerintahannya saat ini adalah mengakhiri kekerasan, menjaga supremasi hukum, dan memulihkan ketertiban serta keamanan di masyarakat. "Karena itu pemerintah harus menegakkan hukum secara ketat terhadap semua kekerasan dan tindakan ilegal," ucapnya.

Dia tak menampik gelombang demonstrasi selama sekitar tiga bulan terakhir menimbulkan dampak serius bagi Hong Kong. "Kekerasan yang berkepanjangan merusak fondasi masyarakat kita, terutama aturan hukum," ujar Lam.

Kendati demikian, dia tetap akan mengajak kelompok-kelompok yang telah berpartisipasi dalam demonstrasi berdialog. Lam pun akan mengundang tokoh masyarakat, kalangan profesional serta akademisi guna mengkaji masalah yang terjadi di masyarakat dan meminta saran atau usulan mereka sebagai bahan solusi.

"Mari kita ganti konflik dengan percakapan, dan mari kita cari solusi," kata Lam.

Namun, dia mengisyaratkan aksi kekerasan yang dilakukan para demonstran harus dihentikan sebelum dialog dimulai. Pengumuman penarikan RUU ekstradisi dilakukan Lam setelah bertemu anggota parlemen pro-pemerintah dan anggota Kongres Rakyat Nasional serta Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China.

Anggota parlemen Michael Tien, yang turut hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan penarikan RUU tidak akan mengubah sentimen publik. Dia berpendapat harus ada langkah selanjutnya yang diambil pemerintah, terutama perihal penyelidikan independen terhadap dugaan pelanggaran serta kekerasan polisi kepada para demonstran.

"Ini terlalu sedikit, sudah terlambat (langkah Lam menarik RUU). Fokus sekarang telah sepenuhnya bergeser. Kebanyakan orang tidak ingat tentang apa RUU itu, tapi lebih peduli tentang kekerasan yang meningkat serta dugaan polisi bersikap kasar terhadap pengunjuk rasa," kata Tien.

Pendapat Tien memang diamini sejumlah masyarakat Hong Kong. "(Penarikan RUU) ini tidak akan menenangkan para pengunjuk rasa. Dalam waktu apa pun, orang-orang akan menemukan sesuatu yang bisa membuat mereka marah," kata Boris Chen (37 tahun).

Warga Hong Kong lainnya, Pearl (69 tahun), mengatakan demonstrasi memang tak lagi tentang RUU ekstradisi. "Beberapa dari orang-orang itu mungkin berubah pikiran, mungkin, tapi hanya minoritas. Beberapa dari mereka hanya ingin membuat masalah dan mereka akan terus melakukannya," ujarnya.

Selain penarikan RUU, memang ada beberapa hal lain yang menjadi poin tuntutan para demonstran. Mereka meminta kata "kerusuhan" dicabut untuk menggambarkan aksi unjuk rasa, pembebasan semua demonstran yang ditangkap, penyelidikan independen terhadap polisi yang dianggap melakukan kekerasan, dan hak bagi rakyat Hong Kong untuk secara demokratis memilih pemimpin mereka sendiri.

Kepolisian Hong Kong, yang telah berulang kali membantah menindak para demonstran secara brutal, belum memberikan komentar terhadap tuntan para demonstran tentang dilakukannya penyelidikan independen. China, yang secara teratur mengecam aksi demonstrasi Hong Kong belum merespons perkembangan situasi terkini di wilayah bekas jajahan Inggris tersebut.

Para aktivis demokrasi Hong Kong, termasuk tokoh terkemukanya Joshua Wong, telah menulis surat terbuka kepada Kanselir Jerman Angela Merkel. Merkel memang diagendakan mengunjungi Beijing.

Dalam suratnya, Wong dan rekan-rekannya mengatakan Jerman harus berjaga-jaga dalam menjalin bisnis dengan China. Merkel pun diperingatkan tentang kehidupan di bawah kepemimpinan diktator Jerman Timur.

"Kanselir Merkel, Anda dibesarkan di Jerman Timur. Anda pada mulanya mengalami kengerian rezim diktator. Kami ingin Anda menunjukkan keberanian serta tekad terhadap rezim otoriter dan tidak adil yang mengilhami Jerman serta Eropa sebelum berakhirnya Perang Dingin," kata Wong.

"Jerman harus berjaga-jaga melakukan bisnis dengan China, karena China tak mematuhi hukum internasional serta telah berulang kali melanggar janjinya," ujar Wong.

Surat itu turut ditandatangani Joephy Wong dan Alice Yu, seniman asal Hong Kong yang kini tinggal di Jerman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement