Senin 12 Aug 2019 00:10 WIB

Rakyat Guatemala Pilih Presiden Baru di Bawah Tekanan Trump

Guatemala terancam sanksi ekonomi jika tidak setuju dengan Donald Trump

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump
Foto: VOA
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump

REPUBLIKA.CO.ID, GUATEMALA CITY -- Rakyat Guatemala pada Ahad (11/8) memilih presiden baru. Presiden terpilih nantinya akan menghadapi tantangan besar setelah negara itu sepakat dengan Washington untuk bertindak sebagai penyangga terhadap arus imigran gelap di bawah tekanan dari Presiden AS Donald Trump.

Terancam dengan sanksi ekonomi jika tidak setuju dengan Trump, Pemerintah Guatemala saat ini sudah menandatangani perjanjian pada Juli lalu untuk menjadikan Guatemala sebagai negara ketiga yang aman bagi para migran meskipun kemiskinan dan kekerasan melanda negara Amerika Tengah itu.

Baca Juga

Para pemilih harus memilih antara Alejandro Giammattei yang konservatif dan saingannya dari kiri tengah, mantan ibu negara Sandra Torres. Kedua calon presiden itu mengeritik kesepakatan tersebut, tetapi diperkirakan tidak akan bisa berbuat banyak untuk menghentikannya.

Risa Grais-Targow, direktur Amerika Latin di konsultan Eurasia Group, mengatakan bahwa sementara perjanjian bisa menghadapi reaksi penolakan di Guatemala, tapi di sisi lain jika menolak bisa membuat negara itu menghadapi risiko pajak pada pengiriman uang atau tarif barang-barangnya.

"Presiden berikutnya menghadapi situasi kalah-kalah ketika datang untuk mengelola kesepakatan dengan Amerika Serikat," katanya. "Itu adalah tantangan terbesar yang dihadapi presiden yang akan datang."

Sebuah jajak pendapat CID-Gallup dari 1.216 pemilih yang dilakukan antara 29 Juli dan 5 Agustus memberi Giammattei keuntungan ketika ia lolos ke pemilihan putaran kedua, dengan dukungan 39,5%, versus 32,4% untuk Torres. Jajak pendapat memiliki margin kesalahan 2,8 poin.

Siapa pun yang menjabat pada Januari mendatang, akan mewarisi sebuah negara dengan tingkat kemiskinan 60 persen, kejahatan luas dan pengangguran, yang telah menyebabkan ratusan ribu warga Guatemala bermigrasi ke utara.

Kedua kandidat tersebut telah lima kali kalah dalam persaingan untuk mendapatkan kursi presiden sebelumnya.

Jajak pendapat menunjukkan bahwa meskipun Torres keluar sebagai yang teratas dalam pemilihan pertama pada Juni lalu, ketidakpopulerannya dapat mendatangkan kehancuran.

"Saya tidak akan memilih, tetapi ... melihat keadaan saya sebaiknya memilih agar Sandra tidak menang," kata Ricardo Son, seorang pensiunan berusia 84 tahun di Guatemala City.

Banyak warga Guatemala muak dengan kelompok politisi setelah skandal korupsi menyebabkan penangkapan mantan Presiden Otto Perez pada 2015, dan mengancam akan menggeser penggantinya, petahana Jimmy Morales.

Kedua kandidat telah berjanji untuk memerangi korupsi tanpa "campur tangan asing," sebuah singgungan yang jelas kepada Komisi Internasional Menentang Impunitas di Guatemala (CICIG), misi PBB yang menjatuhkan Perez dan mengincar Morales.

Morales, yang membatalkan mandat komisi yang berlaku mulai September mendatang, dilarang untuk mencalonkan diri kembali. Tetapi ia bisa tetap bertahan lama jika kesepakatan migrasi yang dia ajukan menjadi faktor menentukan ada pada pemerintahan selanjutnya.

Perjanjian dengan AS tersebut akan mengharuskan migran dari Honduras dan El Salvador untuk mencari suaka di Guatemala daripada Amerika Serikat. Kritkan muncul dengan pertanyaan apakah Guatemala memiliki sumber daya untuk menangani potensi lonjakan aplikasi suaka.

Giammattei, seorang ahli bedah, telah mengusulkan hukuman mati untuk beberapa penjahat, dan berjanji untuk mendirikan "tembok investasi" di perbatasan antara Guatemala dan Meksiko untuk membendung arus migrasi.

Torres berencana menempatkan pasukan di jalanan untuk menghadapi kelompok imigran dan menggunakan skema kesejahteraan untuk mengurangi kemiskinan, sebuah strategi yang ia dukung ketika menjadi ibu negara antara 2008 dan 2011.

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement