Ahad 15 Sep 2019 03:04 WIB

Mantan PM Sebut Inggris Perlu Referendum Kedua Brexit

Brexit tanpa kesepakatan atau no-deal akan menciptakan hasil yang buruk.

Bendera Uni Eropa dan bendera Inggris yang ditinggalkan demonstran pro-Brexit di Parliament Square di London, 29 Maret 2019.
Foto: AP Photo/Matt Dunham
Bendera Uni Eropa dan bendera Inggris yang ditinggalkan demonstran pro-Brexit di Parliament Square di London, 29 Maret 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Mantan perdana menteri Inggris David Cameron mengatakan referendum lain kemungkinan diperlukan untuk menyelesaikan kebuntuan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE) atau Brexit. Sebelumnya ia juga telah mengambil keputusan pada 2016 untuk mengadakan referendum terkait keanggotaan negara UE.

"Saya kira Anda tidak dapat mengesampingkannya (referendum) karena saat ini kami (dalam kondisi) yang terjebak," kata Cameron.

Hal tersebut ia sampaikan dalam sebuah wawancara dengan Times, yang diterbitkan pada Jumat (13/9), sebelum peluncuran memoarnya berjudul 'For the Record'. Cameron mengatakan, Brexit tanpa kesepakatan atau 'no-deal' akan menciptakan hasil yang buruk. Untuk itu, ini tidak perlu dilakukan, ia mengatakan referendum kedua tetap menjadi pilihan.

"Saya tidak mengatakan sesuatu akan terjadi atau seharusnya terjadi. Saya hanya mengatakan bahwa Anda tidak dapat mengesampingkan semuanya sekarang, karena Anda harus menemukan cara untuk membuka blokir penyumbatan," ucap Cameron.

Dalam wawancaranya, Cameron mengkritik keputusan Johnson untuk mengusir 21 anggota parlemen Konservatif dari partai, karena memberikan suara menentang pemerintah, serta langkahnya untuk menangguhkan parlemen hingga pertengahan Oktober. Keputusan untuk menunda parlemen sekarang ditantang di pengadilan Inggris. "Saya tidak mendukung kedua hal itu," kata Cameron.

Ia juga mengatakan Johnson dan Michael Gove, saat ini menteri yang bertanggung jawab atas perencanaan no-deal Brexit, dianggap telah meninggalkan kebenaran selama kampanye.

Adapun Cameron sebelumnya menjabat sebagai perdana menteri Konservatif dari 2010 hingga 2016. Ia berkampanye dalam referendum agar Inggris tetap berada di UE. Ini merupakan wawancara pertamanya, semenjak ia mengundurkan diri sehari setelah warga Inggris memberikan suara dalam referendum sebesar 52 persen untuk meninggalkan UE.

Inggris tengah berada dalam masalah yang semakin jauh semenjak pembicaraan perceraian yang kompleks dengan UE. Negara ini, pertama di bawah Kepemimpinan Theresa May, dan mulai Juli 2019 oleh Boris Johnson masih terpecah mengenai masalah Brexit.

Cameron mengaku khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun ia membela referendum pada 2016, dengan mencapai negosiasi ulang hubungan Inggris dengan UE.

Di samping itu, Johnson mengatakan Inggris harus meninggalkan UE pada 31 Oktober, meskipun ia mencapai kesepakatan keluar atau pun tidak. Namun parlemen mengeluarkan undang-undang pekan lalu atas keberatannya, yang memerintahkan dia untuk melakukan perpanjangan jika ia gagal mencapai kesepakatan dengan blok.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement