Sabtu 14 Sep 2019 11:42 WIB

Demonstran Hong Kong akan Duduki Pusat Perbelanjaan

Demonstran Hong Kong menuntut China menghormati hak khusus negaranya.

Rep: Puti Almas/ Red: Nur Aini
Unjuk rasa di Hongkong (Ilustrasi)
Foto: Youtube
Unjuk rasa di Hongkong (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Aktivis pro-demokrasi Hong Kong berencana untuk menduduki sejumlah area pusat perbelanjaan di kota otonomi China tersebut pada Sabtu (14/9) malam. Satu hari sebelumnya, para demonstran yang melakukan unjuk rasa juga bersama-sama membentuk ‘rantai manusia’ di malam hari dengan berjajar di area berbukit di sana. 

Demonstran juga berencana untuk berkumpul di luar Kantor Konsulat Inggris di Hong Kong pada Ahad (15/9) besok. Para peserta aksi hendak menuntut China menghormati Deklarasi Bersama China -Inggris yang ditandatangani pada 1984, yang menandakan masa depan kota tersebut selepas di bawah koloni Inggris dan dikembalikan kepada Beijing pada 1997. 

Baca Juga

Pada pekan ini, para pengunjuk rasa di Hong Kong melakukan aksi damai, dengan ratusan dari mereka yang berada di jalan-jalan sambil bernyanyi nyanyian dari Mid-Autumn Festival. Hal itu sangat berbeda dibandingkan pekan-pekan sebelumnya, di mana banyak terjadi kekerasan, seiring polisi yang memberikan respons untuk meredam situasi dengan menyemprotkan gas air mata, hingga menggunakan peluru karet dan meriam air. 

Dalam tiga bulan terakhir, tepatnya pada Juni, gelombang demonstrasi besar-besaran dimulai di Hong Kong. Ribuan orang di kota itu menentang Rancangan Undang-undang (UU) yang memungkinkan tersangka dalam suatu kejahatan diekstradisi ke wilayah China daratan dan diadili oleh pengadilan yang dikendalikan oleh pemerintah pusat China. 

Bahkan, sistem dalam RUU itu dikatakan memiliki tingkat hukuman hingga 99 persen. Selain itu, RUU kontroversial itu dinilai sebagai upaya memperluas dan memperkuat pengaruh Beijing di kota otonom tersebut. 

Aksi tersebut terus meluas, dengan seruan para demonstran agar demokrasi sepenuhnya bisa ditegakkan. Situasi tersebut menjadi salah satu krisis politik paling serius, sejak Hong Kong dikembalikan ke China oleh Inggris pada 1997, dengan ketentuan ‘satu negara dua sistem’ yang berarti Hong Kong dapat mempertahankan hak-hak khusus untuk kota tersebut. 

Hal itu juga berarti Hong Kong sepenuhnya memiliki kebebasan yang tidak didapatkan di wilayah China daratan, termasuk peradilan yang independen, yang seharusnya sangat dihargai. China mengaku tidak terlibat dalam masalah internal Hong Kong yang terjadi saat ini dan mengatakan tetap berkomitmen dalam ketentuan satu negara dua sistem. 

Namun, Cina telah menuding adanya intervensi asing, khususnya Amerika Serikat (AS) dan Inggris untuk mengobarkan kerusuhan di Hong Kong seperti saat ini. Sementara itu, Inggris mengatakan bahwa negara itu telah memiliki kewajiban hukum berdasarkan deklarasi 1984. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement