Rabu 18 Sep 2019 14:24 WIB

Menyambung Nafas di Tengah Kepungan Kabut Asap, Pengakuan Warga Pekanbaru

Presiden Jokowi akhirnya menginstruksikan hujan buatan dalam jumlah yang lebih besar.

Red:
abc news
abc news

Mata perih dan gangguan pernafasan adalah dua keluhan yang dirasakan warga Pekanbaru, Riau, terkait kabut asap tebal yang kondisinya sudah sangat mengganggu. Banyak sekolah diliburkan.

Kabut Asap Tahunan di Indonesia

Presiden Jokowi akhirnya menginstruksikan hujan buatan dalam jumlah yang lebih besar. Namun, langkah itu dipandang belum cukup.

Kabut asap yang muncul satu bulan belakangan menganggu aktivitas warga Pekanbaru.

"Udara tercium seperti bau hangus. Saya merasa sesak, mata merah dan perih," kata Christian Pramudana, warga Pekanbaru yang kini mengungsi ke Jakarta kepada ABC Indonesia.

Ia dan keluarganya terpaksa mengungsi lantaran tak tahan dengan kabut asap tebal yang mulai mengganggu kesehatan. Dokter pun menyarankannya untuk eksodus dari Pekanbaru.

"Anak-anak sudah mulai sakit batuk flu. Bagi yang sensitif, kulit gatal-gatal."

"Kepala saya sendiri sudah sakit-sakitan selama 3 hari," tutur Christian yang sudah mengungsi selama sepekan.

"Kalau berlanjut bisa kena ke paru-paru. Efeknya 5 tahun ke depan baru terdeteksi,sangat berbahaya," imbuh bapak dua anak ini.

Christian mengatakan kabut asap yang menghantui Riau, dan juga negara tetangga Singapura, turut mengganggu aktivitas sekolah anak-anaknya.

Seminggu terakhir, anak-anaknya dan juga sekolah yang ia kelola diliburkan. Padahal saat ini mereka sedang menghadapi ujian tengah semester.

"Pelajaran anak-anak yang jadi tertinggal jauh. Harusnya hari ini (16/9/2019) mid semester test."

"Ditunda sampai waktu yang belum bisa dipastikan," sebut pria yang telah menetap di Pekanbaru sejak 15 tahun lalu ini.

Sebelum mengungsi ke Jakarta, ia dan keluarga sebenarnya telah melakukan berbagai cara untuk melindungi diri dari kabut asap.

"Pintu jendela tutup rapat. AC harus nyala terus. Pasang air purifier. Keluar rumah maskeran," katanya kepada ABC.

Christian mengatakan semenjak hutan riau berubah menjadi kebun sawit, hampir tiap tahun ia menghirup kabut asap.

"Tapi lima tahun terakhirlah semakin parah."

"Karena, menurut saya, selain sengaja dibakar untuk buka lahan sawit, cuaca kemarau dan pemanasan global juga menambah keparahan kebakaran yang ada

karena lahan gambut sangat sulit dipadamkan," pendapatnya.

Susan adalah seorang ibu rumah tangga di Pekanbaru.

Sama seperti Christian, ia dan keluarga juga merasakan dampak kabut asap

"Kalau lama-lama pusing. Padahal debu enggak terasa tebalnya ... cuma kalau mobil sudah di jalan berasa terlihat ya."

"Justru ini sebenarnya bahaya banget, enggak terlihat bisa terhisap," tuturnya kepada ABC.

Namun berbeda dari Christian, Susan tetap tinggal di Pekanbaru.

"Puji Tuhan masih sehat-sehat semua. Anak-anak juga kuat walau semua kegiatan di-stop."

"Kebanyakan kegiatan di dalam rumah terus. Digenjot vitamin terus," ujarnya.

Ia tak mengungsi lantaran terjebak oleh keadaan.

"Kebetulan tahun ini anak dua-duanya sudah SD. Dan pas mid semester."

"Mau mengungsi jadinya enggak tenang karena jadwal sekolahnya tentatif. Kapan aja harus siap masuk langsung ujian," sebut Susan.

 

 

Hujan buatan lebih besar dan pentingnya pencegahan

Hari Senin (16/9/2019), Presiden Indonesia Joko Widodo mengunjungi Pekanbaru dan memimpin rapat terbatas yang dihadiri beberapa pejabat tinggi serta pemerintah daerah setempat.

Dalam arahannya, Jokowi mengatakan tindakan pencegahan di dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan mutlak harus dilakukan.

Ia mengakui, jika kebakaran terlanjur terjadi seperti sekarang ini, apalagi di lahan gambut, sangat sulit untuk diselesaikan.

Jokowi menilai keparahan kabut asap yang terjadi kali ini disebabkan perangkat-perangkat di daerah tak difungsikan dengan baik.

"Gubernur memiliki perangkat-perangkat sampai ke bawah: Bupati, Wali Kota, Camat, Kepala Desa."

"Pangdam juga punya perangkat dari Danrem, Dandim, sampai Koramil, Bhabinsa, semuanya ada.

"Kapolda juga punya perangkat dari Kapolres, Kapolsek, sampai Bhabimkamtibmas."

"Tapi perangkat-perangkat ini tidak diaktifkan secara baik," sebut Presiden.

Ia mengatakan, jika infrastruktur lembaga itu diaktifkan dengan baik maka kebakaran besar bisa ditanggulangi dari deteksi dini.

"Saya yakin yang namanya satu titik api sudah pasti ketahuan dulu sebelum sampai menjadi ratusan titik api. Itu sudah saya ingatkan berkali-kali mengenai ini," kata Presiden.

 

Darurat pemulihan lahan gambut

Menurut Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) cabang Riau, Riko Kurniawan, kebakaran yang terjadi di daerahnya kali ini bukanlah bencana alam, namun ada unsur kesengajaan.

"Ini memang ada modus ekonomi untuk membakar lahan sehingga menjadi penyebab utama kabut asap terjadi."

Ia menjelaskan, di Riau, lahan hutan tanaman industri (HTI) untuk pohon akasia ada sebanyak 2,1 juta hektar sementara sawit mengambil porsi 3,4 juta hektar.

"Artinya 60 persen wilayah Riau dikuasai oleh dua komoditas tadi."

"Dari 5,5 juta yang sudah berubah jadi sawit dan akasia itu sebagian besar, 40 persen berada di lahan gambut dalam."

Riko mengatakan, sebenarnya upaya pemadaman yang dilakukan petugas sudah maksimal, namun masalah yang terjadi saat ini adalah tidak adanya air di lahan yang terbakar.

"Makanya yang sejak dari dulu kami desak adalah pemulihan lahan gambut, dengan restorasi pemulihan, artinya dengan membasahi lahan gambut."

"Nah jika lahannya basah tentu airnya ada. Jika airnya ada walau kita tahu pemulihan lahan seperti sedia kala itu lamban tapi minimal setiap tahun itu kita ada air," paparnya kepada ABC.

Riko menuding pekerjaan restorasi hutan dan lahan selama ini dilakukan asal-asalan, tidak tepat sasaran dan pekerjaan pokok, yakni pembasahan lahan gambut, tidak dilakukan.

"Lebih banyak melakukan acara seremonial, pekerjaan utama mereka (pemerintah) harusnya pembasahan, bukan seremonial, bukan riset, bukan yang lain-lain."

"Ya, kalau mereka mengerjakan tugas dengan baik, minimal air ada dong, tapi buktinya sekarang wilayah yang dilakukan pembasahan juga ikut terbakar saat ini."

"Jadi bisa kita nilai kualitas kinerja proyek restorasi gambut itu," utaranya.

Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement