Selasa 17 Sep 2019 16:36 WIB

India Tangkap Politisi Kashmir tanpa Tuduhan

Politisi Kashmir bisa ditahan dua tahun tanpa tuduhan.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Nur Aini
Polisi Kashmir duduk-duduk di depan sebuah toko yang tutup di Srinagar, Kashmir yang dikuasai India, Kamis (22/8).
Foto: AP Photo/Mukhtar Khan
Polisi Kashmir duduk-duduk di depan sebuah toko yang tutup di Srinagar, Kashmir yang dikuasai India, Kamis (22/8).

REPUBLIKA.CO.ID, SRINAGAR -- Mantan ketua menteri Jammu dan Kashmir, Farooq Abdullah (81 tahun) secara resmi ditangkap berdasarkan undang-undang yang memungkinkan dia ditahan hingga dua tahun tanpa tuduhan. Hal itu disampaikan pihak berwenang India pada Selasa (17/9) .

Sebelumnya, Abdullah menjadi tahanan rumah dari awal Agustus ketika India mencabut otonomi Kashmir. Selain itu, India juga menahan puluhan politisi lokal, termasuk mereka yang mendukung wilayah itu sebagai bagian dari India

Baca Juga

Sehari setelah pemerintah India mencabut status khusus, Abdullah memanjat tembok rumahnya untuk berbicara kepada media, dan mengecam langkah India. Itu terakhir kali dia terlihat di depan umum.

"Mengapa mereka tidak bisa menunggu? Setelah 70 tahun, mereka telah menikam rakyat negara. Begitu gerbang kita terbuka, orang-orang kita akan keluar," kata dia, dilansir Straits Times, Selasa.

"Kami akan bertarung, kami akan pergi ke pengadilan. Kami bukan pengguna senjata, pelempar granat, pelempar batu, kami percaya pada penyelesaian yang damai," ucap Abdullah.

Pejabat senior polisi Kashmir, Muneer Khan mengatakan, pada Senin (16/9), Abdullah secara resmi ditangkap di bawah Public Safety Act (PSA). Hal itu merupakan kasus pertama yang dikonfirmasi tentang seorang politisi Kashmir yang ditangkap, di bawah PSA semenjak pencabutan otonomi pada 5 Agustus.

Adapun PSA diperkenalkan pada 1970-an untuk mencegah penyelundupan kayu. Akan tetapi sejak pemberontakan melawan pemerintah India terjadi pada 1989, para aktivis mengatakan PSA telah digunakan untuk menahan ribuan orang.

Kantor hak asasi manusia PBB mengatakan pada 2018 bahwa undang-undang khusus di Kashmir, termasuk PSA telah menciptakan struktur yang menghalangi jalannya hukum normal, menghambat akuntabilitas dan membahayakan hak untuk memperbaiki korban pelanggaran HAM.

Amnesty International pada Juni menyatakan, PSA menghindari sistem peradilan pidana di Jammu dan Kashmir untuk merusak akuntabilitas, transparansi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Kashmir telah terpecah antara wilayah yang dikuasai India dan Pakistan sejak 1947. Dari sanalah, dua negara tetangga bertetangga nuklir India dan Pakistan telah berperang dua kali di wilayah tersebut.

Layanan ponsel dan Internet masih terputus di sebagian besar Lembah Kashmir, lebih dari enam pekan setelah keputusan. Hal itu dilakukan untuk mencegah adanya protes kepada pemerintah.

Sumber pemerintah menyatakan, dalam periode yang sama, India menangkap lebih dari 4.000 orang. Sebanyak 3.000 di antaranya kemudian dibebaskan, dengan hampir 200 warga sipil, dan 415 anggota pasukan keamanan terluka dalam sejumlah protes.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement