Kamis 10 Oct 2019 11:06 WIB

Malaysia Batalkan Undang-Undang Anti-Hoaks

Undang-Undang yang melarang berita palsu disahkan pada masa PM Najib Razak.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
Bendera Malaysia (ilustrasi)
Foto: Reuters
Bendera Malaysia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Malaysia telah membatalkan undang-undang (UU) yang menjadikan "berita palsu" atau hoaks sebagai kejahatan. Pembahasan  pembatalan undang-undang tersebut sudah berjalan selama satu tahun ketika sebelumnya senat yang dikendalikan oposisi menolak. Pencabutan itu disahkan di Dewan Rakyat Malaysia pada Rabu (9/10) dengan mayoritas setuju.

Undang-Undang Anti-Berita Palsu 2018 disahkan pada masa pemerintah Perdana Menteri Najib Razak, langkah yang menurut para kritikus dirancang untuk melumpuhkan perbedaan pendapat. Lahirnya UU tersebut hanya beberapa pekan sebelum Najib kalah dalam pemilihan pada Mei 2018.

Baca Juga

Hukum baru itu membuat masyarakat dinyatakan bersalah ketika menyebarkan apa yang oleh pihak berwenang dianggap sebagai berita palsu. Pelaku yang terkena tuduhan dapat masuk penjara selama enam tahun dan didenda sebanyak 500 ribu ringgit.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia menilai undang-undang itu sebagai tindakan represif. Mereka menuduh Najib menggunakannya untuk menutupi tuduhan korupsi dan kesalahan yang dilakukan pemerintah.

"Pencabutan undang-undang berita anti-palsu adalah berita sambutan yang sudah lama ditunggu," kata Wakil direktur Asia Human Rights Watch Phil Robertson dikutip dari Aljazirah, Kamis (10/10).

Dewan Rakyat Malaysia memilih untuk menghapuskan hukum itu pada Agustus 2018. Namun, pencabutan ditolak oleh majelis tinggi atau senat, yang didominasi oleh koalisi Barisan Nasional yang dikuasai Najib. Setelah ini, majelis tinggi tidak bisa menolak, karena hanya memiliki satu kesempatan.

Malaysia adalah salah satu negara pertama di dunia yang memperkenalkan UU anti-berita palsu. Negara tetangga Singapura telah mengeluarkan peraturan yang serupa, yang mulai berlaku bulan ini meskipun ada keberatan dari politisi oposisi. Thailand berencana untuk membuka pusat "berita palsu" untuk memantau konten daring pada bulan November.

"Undang-undang anti-berita palsu semacam itu hanyalah pengemasan ulang sensor pemerintah dalam bentuk yang lebih menarik, yang dirancang untuk membodohi orang sambil memungkinkan para pejabat untuk menutup kritik yang tidak mereka sukai," kata Robertson. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement