Rabu 09 Oct 2019 15:12 WIB

Presiden Ekuador Tuduh Demonstran Lakukan Kudeta

Presiden Ekuador menolak mundur atau membatalkan penghentian subsidi bahan bakar.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Ani Nursalikah
Demonstrasi menentang Presiden Ekuador Lenin Moreno di Quito, Ekuador, Selasa (8/10).
Foto: AP Photo/Dolores Ochoa
Demonstrasi menentang Presiden Ekuador Lenin Moreno di Quito, Ekuador, Selasa (8/10).

REPUBLIKA.CO.ID, QUITO -- Presiden Ekuador Lenin Moreno menuduh unjuk rasa yang dilakukan sejak Kamis (3/10) merupakan upaya kudeta. Aksi tersebut bersekutu dengan mantan presiden Rafael Correa yang memiliki hubungan kurang baik setelah pemilihan 2017.

"Apa yang terjadi bukanlah manifestasi dari ketidakpuasan sosial sebagai protes atas keputusan pemerintah. Penjarahan, perusakan, dan kekerasan menunjukkan ada motif politik yang terorganisir untuk menggoyahkan pemerintah," kata Moreno dalam pidato Senin (7/10) malam, dikutip dari Aljazirah, Rabu (9/10).

Baca Juga

Dalam kesempatan itu, Moreno pun menyatakan terbuka untuk berdialog dengan gerakan sosial yang sedang berlangsung. Meski begitu, dia dengan tegas menolak mundur atau membatalkan penghentian subsidi bahan bakar.

Pernyataan tersebut tidak menggentarkan pengunjuk rasa. Mereka tetap turun ke jalan pada Selasa untuk menuntut pengembalian subsidi bahan bakar yang telah dihilangkan. Ribuan orang pribumi berbaris menuju ibu kota Quito dan bisa menerobos Majelis Legislatif hingga akhirnya polisi dapat ditekan oleh petugas keamanan.

Moreno pun mengumumkan jam malam bagi warga untuk tidak berada di sekitar gedung pemerintah pada pukul 20.00 hingga 05.00. Langkah ini bagian dari upaya melakukan penertiban setelah demonstrasi yang terus terjadi.

"Kami menolak paket ekonomi yang diterapkan untuk pemerintah Moreno," kata Maria Boada yang pada protes Senin mewakili kolektif hak-hak perempuan, Women for Change.

Beberapa protes berubah menjadi kekerasan dengan polisi setelah penggunaan gas air mata dan meriam air pada demonstran. Menurut pejabat, setidaknya 570 orang telah ditangkap dalam kerusuhan itu.

Jalan-jalan umum banyak yang tutup pada Selasa. Foto-foto yang beredar di media sosial menunjukkan rak-rak supermarket kosong di beberapa kota besar.

Demonstrasi meletus pekan lalu setelah pemerintah mengumumkan akan memotong subsidi bahan bakar yang telah berlaku selama 40 tahun. Keputusan ini setelah pemerintah Ekuador memiliki utang luar negeri yang besar dan defisit fiskal.

Moreno mengatakan pemotongan subsidi bahan bakar adalah bagian penting dari reformasi pengetatan yang telah dilakukan pemerintah sejak menerima pinjaman pinjaman Dana Moneter Internasional (IMF) senilai 4,2 miliar dolar AS awal tahun ini. Menyusul pemotongan itu, harga disel pun naik lebih dari dua kali lipat dan harga bensin naik hampir 30 persen. Moreno juga mengumumkan serangkaian reformasi pajak, termasuk pemotongan 20 persen upah untuk kontrak baru dalam pekerjaan sektor publik.

Persyaratan baru ini memaksa pekerja sektor publik menyumbangkan upah satu hari kepada pemerintah setiap bulan dan penurunan hari libur untuk pekerja publik dari 30 hingga 15 hari setahun. Namun, pemerintah juga menurunkan pajak penghasilan. Pemotongan tersebut telah membuat marah banyak orang di Ekuador, di mana upah minimum hanya 394 dolar AS per bulan.

"'Tidak ada alternatif' adalah narasi palsu, karena selalu ada alternatif. Yang berbeda adalah siapa yang menanggung biaya tindakan," kata ekonom dan mantan jenderal perbankan di Bank Sentral Ekuador Andres Arauz.

Menurut Arauz menyatakan, masalah utama Ekuador sebenarnya adalah masalah neraca pembayaran. Dibutuhkan lebih banyak devisa untuk membayar kembali pinjaman. Menetapkan langkah-langkah pengendalian modal dan membatasi pelarian dolar dari impor yang tidak perlu adalah alternatif yang tidak akan memiliki efek besar pada rakyat Ekuador.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement