Senin 14 Oct 2019 16:30 WIB

"Daftar Tunggu Sangat Panjang": Warga Australia Cari Donor Organ ke Luar Negeri

Dikhawatirkan itu akan semakin menggencarkan perdagangan ilegal organ tubuh manusia.

Red:
.
.

Semakin banyak warga Australia yang pergi ke luar negeri untuk mendapatkan transplantasi organ. Para pakar memperingatkan bahwa 'turisme transplant" tersebut akan semakin menggencarkan perdagangan ilegal organ tubuh manusia.

Penelitian terbaru yang dimuat di Medical Journal of Australia mengatakan jumlah mereka yang keluar negeri lebih tinggi dari jumlah mereka yang terdaftar secara resmi di Australia.

Dari 200 dokter yang menangani tranplantasi yang diwawancarai mengatakan 75 persen pasien menanyakan kemungkinan mencari donor dari luar negeri. Dan 50 persen diantara dokter tersebut mengetahui paling sedikit satu pasien yang mendapat donor di luar negeri.

Ada 129 kasus transplantasi donor yang dilakukan di luar negeri antara tahun 1980 sampai 2018. Bila dihitung dengan perkiraan terbaru menunjukkan jumlah yang mencari donor ke luar negeri lebih besar.

Dari 43 persen yang ditanya, menunjukkan bahwa jumlah transplantasi di luar negeri kemungkinan berjumlah lebih dari 200, namun sulit diketahui dengan jelas. Penelitian juga mengatakan ada 1400 warga Australia menunggu transplantasi organ setiap tahunnya.

China, India, dan Pakistan tujuan utama pencarian donor

Dr Phil Clayton adalah dokter ahli transplantasi ginjal di Rumah Sakit Royal Adelaide (Australia Selatan) dan terlibat dalam penelitian. Dia mengatakan kebanyakan warga Australia yang ke luar negeri adalah untuk transplantasi ginjal karena mereka biasanya masih cukup shehat untuk bepergian.

Bagi mereka yang ke luar negeri, tujuan utamanya adalah

  • China — 31 persen
  • India — 16 persen
  • Pakistan — 9 persen
  • Filipina

Dr Clayton mengatakan bahwa pergi dari Australia ke negara berkembang untuk mendapatkan transplantasi beresiko kemungkinan terkena infeksi serius, HIV, hepatitis dan bahkan kanker.

"Kami menemukan bahwa 26 persen mereka yang pergi ke luar negeri untuk transplantasi kemudian mengalami komplikasi, khususnya infeksi bakteria dan virus," katanya.

"Mungkin saja ada infeksi tambahan yang terjadi ketika transplantasi terjadi yang tidak dilaporkan kepada kami, dan ada juga kemungkinan orang yang meninggal karena infeksi dan tidak kembali lagi ke Australia."

Peneliti juga mengatakan bahwa 93 persen mereka yang ke luar negeri untuk transplantasi memang lahir di luar Australia.

Dr Clayton mengatakan dalam beberapa kasus, mereka yang pergi ke negeri asal untuk mendapatkan transplantasi organ dari anggota keluarga dan itu "sama sekali tidak menjadi masalah."

Namun penelitian menemukan bahwa hampir 66 persen warga Australia yang keluar negeri pergi ke negara ketiga untuk mendapatkan transplantasi.

"Mereka yang terbang ke negara lain (bukan negara asal), kita bisa memperkirakan mereka akan pergi untuk turisme transplantasi organ," kata Dr Clayton.

Menurut laporan yang diterima ABC ada seorang wanita keturunan India asal Fiji yang tinggal di Australia yang bermaksud memberikan ginjalnya kepada saudaranya di Fiji.

Mereka kemudian pergi ke India untuk melakukan operasi karena transplantasi seperti itu tidak dibiayai oleh pemerintah Australia lewat Medicare.

Dr Clayton mengatakan contoh seperti itu menunjukkan alasan bagus untuk melakukan operasi di luar negeri, namun tidak semua kasus seperti ini.

"Salah satu alasan yang muncul adalah bahwa mereka tidak layak dioperasi di Australia dan juga mungkin tidak aman." katanya.

"Alasan lain adalah mungkin ada yang tidak mau menunggu karena daftar tunggu di Australia panjang."

 

Warga dipaksa menjual atau mendonasikan organ

Beberapa pakar mengatakan adanya warga Australia yang pergi ke luar negeri mencari organ transplantasi bisa semakin menyuburkan perdagangan organ gelap dan pelanggaran HAM.

Carolyn Kitto adalah juru bicara sebuah LSM bernama Stop the Traffik, kerjasama antara World Vision dan Salvation Army.

Dia mengatakan walau susah mendapatkan data pasti namun sudah lama dicurigai bahwa pemerintah China mengambil dengan paksa organ dari para napi atau warga kelompok minoritas walau pemerintah mengatakan organ itu diberikan secara etis.

"Sebagai bagian dari rejim totalitarian di China, banyak warga minoritas sudah dianalisa secara biometrik sehingga ada kemungkinan mereka ini diculik karena organ mereka cocok secara biometrik dengan mereka yang memerlukan dan mau membayar." kata Kitto.

Kitto juga mengatakan di bagian dunia lain warga dipaksa menyumbangkan ginjal mereka karena sebab ekonomi.

"Di negara-negara lebih miskin seperti Filipina, Timur Tengah, India, Pakistan, Bangladesh, banyak sekali warga yang sangat miskin." katanya.

"Mereka mungkin dibayar jutaan atau puluhan juta rupiah, namun organ itu bisa dijual miliaran rupiah, jadi banyak uang yang terlibat."

Manusia memang bisa hidup dengan satu ginjal saja, namun Kitto mengatakan membeli organ dari warga miskin kadang menimbulkan masalah bagi warga miskin tersebut.

"Kesehatan mereka pada umumnya tidaklah bagus, sehingga operasi besar kadang membahayakan mereka." kata Kitto.

"Dan juga perawatan setelah operasi bagi mereka kadang tidak memadai."

-Lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement