Selasa 15 Oct 2019 12:09 WIB

Kurdi di Suriah: Kami akan Menang atau Gugur

Sebagian besar warga sipil telah pergi setelah pengeboman Turki saat awal operasi.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Ani Nursalikah
Warga menyambut tentara Suriah setelah mereka tiba di Kota Tal Tamr dekat perbatasan Turki, Senin (14/10).
Foto: SANA via AP
Warga menyambut tentara Suriah setelah mereka tiba di Kota Tal Tamr dekat perbatasan Turki, Senin (14/10).

REPUBLIKA.CO.ID, TAL ABYAD -- Jalan menuju Tal Abyad, sebuah kota di Suriah provinsi Raqqa hening. Toko-toko di perbatasan Suriah itu sepenuhnya tutup menyusul serangan artileri oleh militer Turki di pinggiran kota yang dimulai Kamis lalu.

Di antara beberapa orang, CNN melihat segerombolan wanita, salah satunya membawa bayi tengah berjalan ke utara menuju perbatasan Turki. "Kami akan berdemonstrasi menentang invasi Turki," kata salah satu dari mereka sambil tersenyum tapi menantang, dilansir CNN, Selasa (15/10).

Baca Juga

Wanita-wanita tersebut termasuk di antara 100 pemrotes yang berbaris menuju perbatasan pada pekan lalu. Mereka berunjuk rasa menentang serangan darat Turki di Suriah utara dan kini meluas hingga ke Manbij.

Terlepas dari senyum mereka yang menantang, para wanita Kurdi di sana diperingatkan tidak bergabung dengan demonstrasi mengingat serangan yang semakin mendekat. Di tengah ledakan di kejauhan, seorang pejabat Kurdi perempuan mendekati para wanita. "Bawa bayi Anda dan pergi ke tempat yang aman," katanya.

Lebih jauh menyusuri jalan kota, kelompok pengunjuk rasa mulai berkumpul, menyanyi dan memainkan musik. Di antara mereka adalah Nujeen Youssef berusia 34 tahun yang merupakan seorang milisi Kurdi dengan paduan bandana merah muda menutupi rambutnya.

Dia mengatakan, sebagian besar warga sipil telah pergi setelah pengeboman Turki diawal operasinya. Namun ia lebih memilih maju berbaris ke perbatasan. "Kami bukan orang yang takut, mereka (orang Turki) takut," katanya dengan suara serak.

Sementara mortir berdebam di dekatnya. Seseorang meraih mikrofon dan meminta pengunjuk rasa untuk pulang ketika serangan semakin dekat. Mereka mengemudi keluar kota, udara tebal dengan asap hitamnya menutupi awan kota itu. Milisi Kurdi membakar ban di berbagai lokasi untuk menciptakan tabir asap hitam melawan serangan Turki.

Sangat sulit untuk mengetahui di mana tempat aman lagi di daerah tersebut. Tidak ada tempat bagi orang untuk berkumpul. Demonstrasi berlangsung sangat singkat.

Seorang komandan Kurdi yang meminta tak menyebutkan namanya mengatakan, pasrah pada nasibnya. Dia telah melihat bagian yang adil dari pertempuran di masa lalu. Dia juga mengatakan, ujung ibu jari kanannya hilang karena peretempuran sebelumnya melawan ISIS.

Ketika ditanya bagaimana para milisi Kurdi yang kini kehilangan dukungan Amerika Serikat, bisa menyamai kekuatan militer tentara Turki, ia ragu. "Kami akan menang atau kami akan mati," tukasnya.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengumumkan serangan awal militer Turki dengan menyebutnya Operation Peace Spring. Serangan tersebut memicu kecaman dari negara-negara barat yang telah bersekutu dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF).

Erdogan mengatakan serangan ofensif dilakukan untuk menggerus kekuatan Kurdi di perbatasan Turki dan Suriah serta menciptakan zona aman sepanjang 30 kilometer ke dalam Suriah. Dengan zona aman tersebut, Turki menyatakan jutaan pengungsi Suriah akan dapat kembali pulang ke negara mereka.

Aksi militer oleh Ankara menimbulkan potensi bentorkan kuat antara Turki dan Suriah sehingga menimbulkan momok bagi kebangkitan ISIS. Dunia pun mengecam Turki.

Pasukan militer Kurdi di Suriah mengatakan pasukan Pemerintah Suriah setuju untuk membantu mereka menghadapi invasi Turki, kemarin. Peralihan arah keberpihakan ini dapat membuat Pemerintah Suriah berhadapan langsung dengan Turki yang melakukan serangan mulai 9 Oktober.

Dalam perang saudara yang telah berlangsung sekitar delapan tahun, Kurdi dan Pemerintah Suriah pimpinan Presiden Bashar Assad berada dalam posisi berbeda. Kurdi didukung koalisi Amerika Serikat (AS) untuk melawan milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Suriah sejak 2014. Sementara itu, koalisi AS berseberangan dengan Pemerintah Suriah yang didukung Rusia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement