Kamis 17 Oct 2019 21:27 WIB

Uni Eropa dan Inggris Capai Kesepakatan Brexit

PM Inggris masih harus memperoleh persetujuan parlemen untuk kesepakatan Brexit.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berbicara kepada media di luar kantor perdana menteri 10 Downing Street di London, Senin (2/9). Johnson mengatakan dia tidak ingin ada pemilu di tengah krisis Brexit.
Foto: AP Photo/Matt Dunham
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berbicara kepada media di luar kantor perdana menteri 10 Downing Street di London, Senin (2/9). Johnson mengatakan dia tidak ingin ada pemilu di tengah krisis Brexit.

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Uni Eropa (UE) dan Inggris telah mencapai kesepakatan terbaru Brexit pada Kamis (17/10). Hal itu terjadi hanya beberapa jam sebelum UE menggelar pertemuan puncak para pemimpin negara anggota di Brussels, Belgia. 

"Di mana ada kemauan, ada kesepakatan. Kami punya satu! Ini adalah kesepakatan yang adil dan seimbang untuk UE dan Inggris dan ini merupakan bukti komitmen kami untuk menemukan solusi," kata Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker melalui akun Twitter pribadinya. 

Baca Juga

Juncker akan merekomendasikan Dewan Eropa agar menyetujui kesepakatan tersebut. Menurutnya saat ini adalah waktu yang tepat untuk merampungkan proses hengkangnya Inggris dari UE. Dengan demikian, kedua belah pihak dapat secepat mungkin melanjutkan negosiasi tentang kemitraan masa depan antara UE dan Inggris. 

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson turut menyambut tercapainya kesepakatan terbaru Brexit. Dia mengklaim terdapat banyak kesepakatan baru yang tercapai dan mengembalikan kontrol Inggris. 

"Sekarang parlemen (Inggris) harus menuntaskan Brexit pada Sabtu (18/10) sehingga kita dapat bergerak ke prioritas lain seperti biaya hidup, layanan kesehatan nasional, kejahatan kriminal, dan lingkungan kita," ujar Johnson melalui akun Twitter pribadinya. 

Pada Sabtu, House of Commons Inggris akan menggelar pemungutan suara terkait kesepakatan terbaru yang diraih Pemerintah Inggris dan UE. Johnson memang berharap memperoleh persetujuan atau mayoritas suara dukungan untuk meloloskan kesepakatan terbarunya. 

Tahap itu diketahui merupakan yang paling pelik. Parlemen Inggris telah menolak tiga kali kesepakatan Brexit yang dicapai mantan perdana menteri Inggris Theresa May. Mereka bahkan menyatakan mosi tidak percaya terhadap May. 

Isu utama yang kerap menjadi perdebatan adalah perihal "backstop" Irlandia. Klausul yang pernah diajukan May dan kemudian ditolak parlemen Inggris menyatakan bahwa seluruh wilayah Inggris, termasuk Irlandia Utara, akan tetap berada dalam serikat pabean dengan UE. 

Hal itu berlangsung hingga UE setuju bahwa tak ada prospek untuk kembali ke perbatasan yang kaku (hard border) antara Irlandia dan Irlandia Utara. Parlemen Inggris menilai hal itu tak adil dan merugikan. Para kritikus pun menilai klausul demikian dapat mengikat Inggris dalam orbit UE tanpa batas. 

Menurut Kepala Negosiator UE Michel Barnier, memang terdapat beberapa ketentuan dari kesepakatan terbaru yang dicapai dengan Inggris, termasuk soal backstop Irlandia. Kesepakatan menawarkan solusi operasi yang legal untuk menghindari hard border di pulau Irlandia. 

"Ini adalah solusi yang berfungsi untuk UE, Inggris, dan orang-orang serta bisnis di Irlandia Utara," ujar Barnier, dikutip laman Euronews. 

Sebagai dampaknya, Irlandia Utara akan tetap "selaras" dengan seperangkat aturan terbatas yang terkait dengan pasar tunggal UE. Hal itu akan membantu menghindari penerapan hard border di Irlandia. 

Aturan-aturan itu berlaku, khususnya dengan undang-undang tentang barang, aturan produksi-pemasaran pertanian, pajak pertambahan nilai dan cukai sehubungan dengan barang, dan aturan bantuan negara. Sisa dari wilayah Inggris dapat menerapkan tarif pada barang yang masuk dari pihak ketiga. 

Johnson berharap memperoleh dukungan dari partainya sendiri, Partai Konservatif, dan partai Irlandia Utara, Democratic Unionist Party (DUP) untuk kesepakatan terbaru yang berhasil dicapai dengan UE. Namun, DUP telah mengatakan tidak dapat mendukung kesepakatan yang diusulkan Johnson, terutama mengenai masalah bea cukai dan persetujuan untuk perbatasan Irlandia Utara dengan Republik Irlandia pasca-Brexit. 

"Kami akan terus bekerja dengan pemerintah untuk mencoba dan mendapatkan kesepakatan nyata yang berfungsi untuk Irlandia Utara dan melindungi integritas ekonomi serta konstitusional Inggris Raya," kata DUP dalam sebuah pernyataan. 

Pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn pun meminta anggota parlemen Inggris menolak kesepakatan Johnson. "Dari apa yang kita ketahui, tampaknya perdana menteri telah menegosiasikan kesepakatan yang bahkan lebih buruk daripada Theresa May, yang sangat ditolak," ujarnya, dikutip laman the Guardian. 

Menurut dia ketentuan dalam kesepakatan Brexit terbaru menempatkan keamanan pangan dalam risiko, memotong standar lingkungan dan hak-hak pekerja, dan berpeluang membuat layanan kesehatan nasional diambil alih oleh perusahaan swasta Amerika Serikat (AS). 

"Kesepakatan menjual ini tidak akan menyatukan negara dan harus ditolak. Cara terbaik untuk mendapatkan Brexit tersortir adalah dengan memberi rakyat suara terakhir dalam pemungutan suara publik," kata Corbyn. 

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement