Sabtu 19 Oct 2019 15:33 WIB

Pengungsi Suriah Merasa Dikhinati Amerika

Warga yang tinggal di utara Suriah merasa dikhinati AS.

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Presiden AS Donald Trump bersama Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
Foto: AP Photo/Evan Vucci
Presiden AS Donald Trump bersama Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan

REPUBLIKA.CO.ID, BARDARASH -- Selama berbulan-bulan Turki mengancam akan menginvansi utara Suriah. Warga yang tinggal di sana pun merasa telah dikhianati Amerika Serikat. Salah satunya Salwa Hanna bersama suaminya yang sudah lama ingin membawa anak-anak mereka dan meninggalkan kota perbatasan Kobani. Tapi suaminya selalu meminta Hanna untuk tenang karena ada pasukan Amerika di kota itu.

Kini keluarga Kristen itu termasuk 160 ribu warga Suriah yang harus mengungsi karena Turki melancarkan serangan sejak Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menarik mundur pasukan AS. Trump menelantarkan pasukan Kurdi yang sudah menjadi sekutu AS selama berperang melawan ISIS. Invansi Turki mengubah salah satu wilayah paling aman di Suriah menjadi zona perang. Membuat warga yang tinggal di sana merasa dikhinati AS.

Hanna, suaminya dan anak-anak mereka tiba di kamp pengungsi yang dibuka kembali di Irak pada Kamis (18/10). Mereka mengatakan harus meminjam uang sebesar 200 dolar AS untuk membayar penyulundup yang membawa mereka menyeberangi perbatasan. Mereka tidak sempat membawa apa-apa dan tenda pengungsian mereka pun kosong.

"Saya meninggalkan rumah dan saya baru saja memulai rumah baru dan saya meninggal semuanya dibelakang, tidak ada emosi lagi, kami hidup seperti kami mati," katanya, Jumat (19/10).

Keluarga itu berasal dari Afrin, kantong Kurdi di timur laut Suriah yang direbut Turki dan sekutu pasukan Suriah pada awal tahun 2018. Tidak ada pasukan AS di Afrin dan setelah Kurdi mundur tidak ada yang dapat mencegah pasukan sekutu Suriah berisi mantan pemberontak, ektremis, dan bandit untuk melakukan penjarahan. 

Kendaraan-kendaraan militer berbendera AS kerap berpatroli di timur laut Suriah. Wilayah itu menjadi tempat aman yang langka di Suriah bagi pengungsi. Hanna dan suaminya berhasil mendapatkan pekerjaan dan rumah baru di Kobani.

Tapi semuanya hancur setelah Turki melakukan invansi ke utara Suriah pekan lalu. Turki memandang pasukan Kurdi di Afrin dan timur laut Suriah sebagai kelompok teroris. Ankara menganggap Kurdi di Suriah memiliki koneksi dengan Partai Pekerja Kurdi (PKK) di Turki yang sudah dicap sebagai kelompok teroris.

Setelah menyerang Afrin, Presiden Turki Recep Tayyep Erdogan berulang kali mengancam akan memperluas 'zona aman' sepanjang 30 kilometer ke Suriah. Selama berbulan-bulan AS bekerja untuk menciptakan kesepakatan patroli gabungan dan langkah lain yang dinilai dapat menurunkan ketegangan antara Turki dan Kurdi.

Keberadaan sejumlah pasukan AS menahan Turki melancarkan serangan. Lalu setelah melakukan sambungan telepon dengan Erdogan pada 6 Oktober lalu Trump menarik pasukan AS dari sana.

"Selama satu tahun penuh Turki mengancam kami, saya terus mengatakan kami harus melarikan diri, karena dengan Turki di sana maka tak ada keamanan, tapi suami saya selalu mengatakan di sana ada Amerika, Inggris, dan Prancis dan mereka tidak akan menelantarkan kami," kata Hanna.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement