Rabu 09 Oct 2019 20:04 WIB

Tarif Listrik Zimbabwe Naik 320 Persen

Pemadaman bergilir hingga 18 jam diberlakukan termasuk bagi industri dan perumahan.

 Suasana di jalan raya Robert Mugabe di Harare, Zimbabwe.
Foto: AP/Tsvangirayi Mukwazhi
Suasana di jalan raya Robert Mugabe di Harare, Zimbabwe.

REPUBLIKA.CO.ID, HARARE -- Pemerintah Zimbabwe menaikkan tarif rata-rata listrik sebesar 320 persen atau sekitar empat kali lipat. Kenaikan tarif itu untuk membuat perusahaan listrik negara meningkatkan jumlah produksi dan persediaan listrik.

Keputusan di tengah kebijakan pemadaman listrik harian bergilir itu disampaikan oleh pejabat pemerintah dalam bidang energi nasional, Rabu (9/10). Pemadaman bergilir hingga 18 jam diberlakukan termasuk bagi pertambangan, industri, dan perumahan.

Baca Juga

Hal itu juga dibarengi dengan kekeringan. Kekeringan menjadi salah satu alasan utama menyusutnya ekonomi Zimbabwe hingga enam persen pada tahun ini.

Lembaga Pengatur Energi Zimbabwe (ZERA: Zimbabwe Energy Regulatory Authority) menyatakan telah menyetujui permohonan kenaikan tarif dari Perusahaan Penyalur Listrik Zimbabwe (ZETDC: Zimbabwe Electricity Transmission and Distribution Company). Kenaikan tarif tersebut dari sebelumnya 38,61 sen Zimbabwe menjadi 162,16 sen.

Kenaikan tersebut merupakan yang kedua kali dalam tiga bulan setelah kenaikan pertama diberlakukan pada Agustus. ZERA berdalih kenaikan tarif diperlukan setelah inflasi naik tinggi, sebagaimana badan keuangan dunia, IMF, menyebut inflasi sekitar 300 persen pada Agustus. Selain itu, nilai mata uang dolar Zimbabwe juga terperosok.

Dengan tarif baru itu, ZETDC bisa menambah biaya untuk perbaikan generator miliknya dan membayar generator impor dari perusahaan listrik Eskom dan Mozambik. Bagaimanapun, kenaikan sangat tinggi pada biaya listrik akan menyulut kemarahan masyarakat Zimbabwe yang pada pekan sebelumnya mengalami kenaikan yang juga tinggi pada harga bahan bakar dan bahan pokok.

Belum lagi gaji yang tidak turun sesuai jadwal mendorong mereka menyalahkan kebijakan Presiden Emmerson Mnangagwa atas krisis ekonomi terparah dalam satu dekade terakhir. Harapan keadaan ekonomi kembali membaik dengan cepat di bawah pemerintahan Mnangagwa ternyata sirna seketika setelah masyarakat harus berjuang dengan inflasi tinggi yang mengikis pendapatan dan simpanan mereka. Mnangagwa menjadi presiden menggantikan Robert Mugabe yang dikudeta pada November 2017.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement