Ahad 10 Nov 2019 09:54 WIB

Erdogan Ngotot Turki tak akan Hengkang dari Suriah

Erdogan tegaskan Turki tak akan hengkang dari Suriah hingga negara lain keluar

Rep: KAMRAN DIKARMA/ Red: Elba Damhuri
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan melakukan pertemuan di Kremlin, Moskow, Rusia, Senin (8/4).
Foto: Alexei Nikolsky, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan melakukan pertemuan di Kremlin, Moskow, Rusia, Senin (8/4).

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan, negaranya tidak akan hengkang dari Suriah hingga negara-negara lain keluar dari sana. Dia pun menyatakan akan melanjutkan serangan terhadap pasukan Kurdi di perbatasan Suriah-Turki.

"Kami tidak akan pergi dari Suriah sampai negara-negara lain keluar. Kami tidak akan berhenti melancarkan serangan militer, sampai setiap teroris terakhir meninggalkan wilayah ini," kata Erdogan, Jumat (8/11), dikutip laman Aljazirah.

Teroris yang dimaksud dalam pernyataan Erdogan mengacu pada kelompok YPG, komponen Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin Kurdi.

Pada hari yang sama, Menteri Dalam Negeri Turki Suleyman Soylu mengatakan akan memulangkan anggota ISIS yang tertangkap pasukan negaranya di Suriah ke negara asalnya masing-masing. \"Sekarang kami memberitahu kalian bahwa kami akan mengirim mereka kembali kepada kalian. Kami akan memulainya pada Senin (10/11),\" ujarnya.

Awal pekan ini, Soylu mengungkapkan Turki menahan hampir 1.200 anggota ISIS yang berasal dari berbagai negara. Saat melancarkan operasi militer ke perbatasan Suriah, Ankara juga menangkap 287 anggota ISIS.

Turki telah mengkritik negara-negara Barat karena enggan menerima kembali warganya yang telah bergabung bersama ISIS. Beberapa negara bahkan telah memutuskan mencabut status kewarganegaraan mereka. Masih belum jelas apakah Turki akan tetap memulangkan mereka yang telah kehilangan kewarganegaraannya.

Peneliti senior Human Rights Watch (HRW) Letta Tayler mengatakan, tidak jelas bagaimana Eropa akan merespons rencana Turki memulangkan anggota asing ISIS ke negaranya masing-masing. Sebagian dari mereka memang berasal dari Eropa.

"Eropa mengatur dirinya sendiri untuk ultimatum ini dengan menolak memulangkan warga negaranya. Meski ada permintaan berulang dari otoritas pimpinan Kurdi di timur laut Suriah agar mereka membawa pulang warganya. Repatriasi adalah sesuatu yang seharusnya dilakukan Eropa sejak dulu dan harus dilakukan sekarang. Seharusnya bekerja dengan Turki untuk mewujudkan hal ini," kata Tayler.

Menurut dia, dari sudut pandang kemanusiaan, memang lebih baik Eropa mengambil kembali warganya karena banyak di antara mereka yang masih berusia anak-anak. "Dari sudut pandang keamanan, jauh lebih baik bagi Eropa memantau warganya apakah mereka telah menolak mereka sebagai warga negara atau tidak," ujarnya.

Pada 9 Oktober lalu, Turki memulai operasi militer di timur laut Suriah. Dalam operasi yang diberi nama Operation Peace Spring itu, Ankara hendak menumpas pasukan Kurdi yang menguasai wilayah perbatasan antara Suriah dan Turki.

Erdogan sempat mengancam akan mengirim jutaan pengungsi Suriah ke Eropa. Hal itu dilakukan jika Uni Eropa melabeli operasi militer Turki di Suriah sebagai invasi. “Hei Uni Eropa, bangun. Saya katakan lagi, jika Anda mencoba membingkai operasi militer kami di Suriah sebagai invasi, tugas kami sederhana, kami akan membuka pintu dan mengirim 3,6 juta migran kepada Anda,” kata Erdogan dalam sebuah pidato pada 10 Oktober lalu.

Turki diketahui menampung 3,6 juta pengungsi selama delapan tahun konflik Suriah. Di bawah perjanjian 2016 dengan Uni Eropa, Turki sepakat mencegah para pengungsi pergi ke Eropa. Sebagai imbalannya, Turki memperoleh dana 6 miliar euro dan perjalanan bebas visa ke Eropa bagi warganya.

(ed: setyanavidota livikacansera)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement