Kamis 14 Nov 2019 14:19 WIB

Facebook Hapus Jutaan Konten tentang Penembakan Christchurch

Facebook menghapus 4,5 juta konten terkait penembakan di Masjid Christchurch.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nur Aini
Anggota masyarakat berduka di sebuah memorial bunga di dekat Masjid Al Noor di Deans Rd di Christchurch, Selandia Baru, 16 Maret 2019.
Foto: EPA-EFE/Mick Tsikas
Anggota masyarakat berduka di sebuah memorial bunga di dekat Masjid Al Noor di Deans Rd di Christchurch, Selandia Baru, 16 Maret 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Facebook telah menghapus jutaan gambar dan artikel di seluruh dunia yang menggambarkan tentang serangan teror di Masjid Christchurch di Selandia Baru.

Perusahaan jejaring sosial media itu didesak untuk menghapus materi atau unggahan yang tidak pantas sejak seorang penembak melakukan aksi pembantaian terhadap jamaah di masjid tersebut pada 15 Maret 2019 lalu. Peristiwa penembakan itu telah menewaskan 51 orang.

Baca Juga

Laporan Penegakan Standar komunitas yang keempat dari perusahaan itu merinci berapa kali mereka menghapus konten yang melanggar kebijakannya. Wakil presiden bidang integritas Facebook, Guy Rosen, mengatakan antara 15 Maret dan 30 September 2019, Facebook telah menghapus sebanyak 4,5 juta konten terkait serangan Christchurch. Sementara itu, 97 persen dari unggahan tersebut telah dihapus sebelum dilaporkan.

Menurutnya, Facebook memutuskan untuk menghapus semua konten secara global untuk menghormati para korban tragedi serangan itu. Direktur perjanjian pemakaian internet Selandia Baru, Andrew Cushen, mengatakan kepada Morning Report bahwa angka yang besar dari konten tentang serangan Christchurch tersebut menunjukkan skala dan tantangan yang harus dihadapi situs jejaring sosial tersebut. Dengan demikian, Facebook harus membuat beberapa keputusan ekstrem tentang membatasi pelaporan berita dan penggunaan platform lainnya.

"Statistik ini menunjukkan bagaimana Facebook telah belajar dan beradaptasi dan merespons tantangan itu untuk meminimalkan bahaya berbagi konten ini di seluruh dunia," kata Cushen, dilansir di Scoop, Kamis (14/11).

Ia mengatakan, fakta bahwa mereka telah memperluas kebijakan itu pada konten berita media menunjukkan mereka harus membuat beberapa keputusan yang cukup ekstrem. Hal itu, menurutnya, menimbulkan serangkaian pertanyaan menarik tentang bagaimana orang-orang mendukung organisasi seperti Facebook untuk membuat keputusan seperti demikian.

"Dan bagaimana aturan seperti itu harus diterapkan di seluruh dunia guna memastikan kami melakukan hal yang benar dan meminimalkan bahaya, dan belajar dari serangan seperti ini dengan cara terbaik," ujarnya.

Sebelumnya pada Mei lalu, Facebook menandatangani kontrak dengan Christchurch Call di Paris, yang diketuai bersama oleh Perdana Menteri Jacinda Ardern dan Presiden Prancis Emmanuel Macron. Christchurch Call to Action Summit merupakan pertemuan politik yang diinisiasi oleh Ardern dan berlangsung di Paris, Prancis, dua bulan setelah serangan Masjid Christchurch terjadi pada 15 Maret 2019.

Facebook kemudian mengumumkan perubahan, termasuk membatasi siapa saja yang dapat menggunakan Facebook Live. Facebook juga memastikan siapa saja di Selandia Baru yang melihat konten ekstremis di situs tersebut ke depannya akan diarahkan ke situs web yang membantu orang-orang untuk meninggalkan grup berisi ujaran kebencian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement