Rabu 20 Nov 2019 05:20 WIB

100 Demonstran Hong Kong Masih Terjebak di Kampus

Demonstran mahasiswa Hong Kong memilih bertahan di kampus daripada ditangkap polisi.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ani Nursalikah
Relawan medis mengumpulkan persediaan obat-obatan di dalam kampus Hong Kong Polytechnic University di Hong Kong, Selasa (19/11). Sekitar 100 demonstran Hong Kong masih berada di dalam kampus.
Foto: AP Photo/Achmad Ibrahim
Relawan medis mengumpulkan persediaan obat-obatan di dalam kampus Hong Kong Polytechnic University di Hong Kong, Selasa (19/11). Sekitar 100 demonstran Hong Kong masih berada di dalam kampus.

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Sekitar 100 pengunjuk rasa masih bersembunyi di kampus Hong Kong Polytechnic University di Kowloon yang dikepung polisi di Hong Kong. Pemimpin Hong Kong Carrie Lam mengatakan sekitar 600 pengunjuk rasa menyerah kepada pihak berwenang di kampus tersebut semalam.

Polisi antihuru-hara mengepung kampus yang diambil alih oleh para pengunjuk rasa dan menembakkan gas air mata ke arah mereka yang mencoba melarikan diri, Selasa (19/11). Polisi mendesak para aktivis menyerah secara damai.

Baca Juga

Puluhan ribu orang telah turun ke jalan selama tiga hari terakhir di sekitaran universitas. Peristiwa tersebut memicu bentrokan antara polisi dengan pengunjuk rasa. Polisi mengatakan mereka telah menangkap 1.100 orang sejak Senin lalu.

Otoritas Rumah Sakit Hong Kong mengungkapkan mereka telah menerima hampir 300 orang yang terluka dari universitas. Mereka juga meminta masyarakat tidak datang ke unit gawat darurat kecuali benar-benar diperlukan.

Lam mengaku terkejut lantaran kampus-kampus Hong Kong telah berubah menjadi 'pabrik senjata'.  Kelompok-kelompok pengunjuk rasa juga telah mencoba melarikan diri dari penjagaan ketat polisi di sekitar kampus.

Pada Senin malam, segerombolan orang terlihat menuruni jembatan ketika polisi menembakkan gas air mata dan diusir dengan sepeda motor. Polisi setempat mengklaim mereka telah menghentikan 37 orang dari kelompok tersebut.

Sementara itu, ketika ketegangan dalam krisis politik Hong Kong mencapai puncaknya, China justru mengeluarkan peringatan yang semakin parah, memicu kekhawatiran akan intervensi. Pengadilan Hong Kong memutuskan pelarangan masker wajah tidak konstitusional. Badan legislatif China mengatakan hanya mereka yang memiliki kekuasaan mengatur konstitusionalitas legislasi berdasarkan Undang-Undang Dasar kota.

Duta Besar China untuk Inggris, Liu Xiaoming, mengatakan pada Senin pemerintah Hong Kong berusaha sangat keras mengendalikan situasi. “Tetapi jika situasinya menjadi tidak terkendali, pemerintah pusat tentu tidak akan diam di tempat dan menonton kami. Kami memiliki resolusi dan kekuatan yang cukup untuk mengakhiri kerusuhan," ujarnya.

photo
Mahasiswa beristirahat di area kampus Hong Kong Polytechnic University. Polisi mengepung kampus dengan ratusan mahasiswa pengunjuk rasa di dalamnya.

Politikus pro-China dan mantan kepala dewan legislatif Hong Kong yang membantu memediasi penyerahan mahasiswa pada Senin lalu, Jasper Tsang, mengatakan kepada Reuters akan ada pertumpahan darah jika polisi memaksa memasuki kampus Polytechnic University.

"Ini adalah sesuatu yang ingin kita hindari," katanya.

Polisi mengklaim telah menemukan sekitar 3.900 koktail molotov di universitas lain diambil alih pekan lalu oleh pengunjuk rasa yang sejak itu telah dievakuasi. Polisi memperingatkan mungkin ada lebih dari jumlah tersebut di Polytechnic University.

Polisi mengatakan mereka mengizinkan sukarelawan Palang Merah dan pertolongan pertama, serta kepala sekolah menengah, guru dan pekerja sosial masuk ke universitas. Seorang pekerja sosial di kampus mengungkapkan kondisi para pengunjuk rasa yang tersisa di universitas itu memburuk. Menurutnya, suasana hati mereka terlihat sangat putus asa.

“Tidak mudah berbicara dengan mereka. Mereka pikir kami adalah orang jahat yang meminta mereka pergi,” ujarnya.

Orang tua dan pemrotes mengadakan aksi unjuk rasa pada Selasa sore meminta polisi membiarkan para pengunjuk rasa pergi tanpa ancaman penangkapan. Eva Lau (51 tahun) mengaku tidak tidur lebih dari beberapa jam selama dua malam terakhir setelah kehilangan kontak dengan putranya yang berusia 22 tahun.

Putranya telah menghubungi dan meninggalkan kampus pada Selasa dengan paramedis dan berada di rumah sakit. Lau belum dapat menghubunginya karena blokade jalan yang dibuat oleh polisi.

"Setiap hari dari pagi hingga malam, kami tidak tahu apa yang akan terjadi dan kami sangat khawatir. Sekarang sedikit lebih baik tetapi saya masih belum melihatnya," ujar Lau.

"Mereka takut keluar dan ditangkap oleh polisi. Mereka mengatakan lebih baik mati daripada keluar," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement