Rabu 04 Dec 2019 09:19 WIB

Pengalaman Mahasiswa Kosan di Australia: Jadi Sapi Perahan

Mahasiswa di Australia merasa jadi sapi perahan terutama terkait akomodasi

Red:
Mahasiswa di Australia merasa jadi sapi perahan terutama terkait akomodasi
Mahasiswa di Australia merasa jadi sapi perahan terutama terkait akomodasi

Ketika mahasiswa asal China Jiaying Wan pertama kali tiba di Sydney untuk belajar akuntansi, dia dipaksa harus membayar Rp 80 juta di muka selama empat bulan dan jaminan untuk tempat tinggalnya.

Pemilik kos-kosannya juga mengenakan biaya bersih-bersih Rp 1,65 juta per minggu dan harus membeli alas pelindung kasur Rp 750 ribu untuk kamar tidurnya.

"Sebelum saya masuk, saya sudah merasa jadi sapi perahan. Saya belum pernah menggunakan alas pelindung kasur sebelumnya," kata perempuan berusia 24 tahun tersebut.

"Saya tidak pernah mengalami situasi seperti ini sebelumnya. Saya tidak tahu bagaimana mengatasi masalah ketika itu. Saya merasa terjebak tinggal di sana."

Dia mencari sendiri tempat tinggal tersebut lewat online sebelum dia tiba di Austrralia.

Jiaying Wan berhubungan dengan pemilik akomodasi tersebut lewat media sosial China WeChat.

Akhirnya, Wan mencari bantuan hukum dan Pusat Bantuan Hukum Redfern Legal Centre membawa kasus itu ke Tribunal Sipil dan Administrasi negara bagian New South Wales.

Tribunal memutuskan pemilik akomodasi mengembalikan Rp 36 juta kepada Wan, termasuk Rp 10 juta yang diambil dari kartu kreditnya.

"Sekarang tiap kali saya ingin mencari kos-kosan saya berusaha sangat berhati-hati."

"Saya ingin tahu kira-kira apa kemungkinan buruk yang bisa terjadi." katanya.

Jiaying Wan mengatakan kondisi tempat tinggalnya di Sydney mempengaruhi stress secara mental maupun keuangan yang dialaminya ketika belajar di Australia.

 

Maraknya ekploatasi mahasiswa internasional

Cerita Jiaying Wan ini merupakan salah satu contoh mengenai maraknya eksploatasi terhadap mahasiswa internasional di Australia yang dilakukan oleh pemilik akomodasi.

Dua uiversitas di Sydney University of Technology Sydney (UTS) dan University of New South Wales (UNSW) hari Rabu (4/12/2019) mengeluarkan sebuah laporan mengenal hal tersebut.

Mereka sudah melakukan survei terhadap 2440 mahasiswa internasional dan separuh dari mahasiswa tersebut pernah merasa tertipu atau tinggal di akomodasi yang tidak memadai.

Masalah utama yang ditemukan dalam laporan tersebut adalah mahasiswa dikenai biaya yang berlebihan yang harus dibayar di depan, kos-kosan yang berdesakan, dan intimidasi yang dialami penghuni kos dari yang lain.

Penulis laporan dari UTS Dr Laurie Berg yang juga adalah pengajar Fakultas Hukum mengatakan eksploatasi ini berlangsung marak dan tidak ada peraturan yang ada untuk mencegahnya.

"Lingkungan yang ada membuat eksploatasi bisa berlangsung dengan mudah." katanya.

"Mahasiswa internasional itu sangat rentan, mereka jauh dari rumah, mereka kadang tidak tahu haknya, mereka tidak memiliki teman atau keluarga untuk bertanya.'

"Mereka perlu tempat tinggal dan sekarang untuk mencarinya tidaklah gampang karena banyak yang lain yang memerlukannya."

"Aturan, penyelidikan dan pengawasan di bidang ini lemah.. pemilik akomodasi terus mencari mangsa di kalangan mahasiswa internasional karena mereka tahu hal itu tidak akan ketahuan.' kata De Berg.

 

'Mereka tidak menganggap kami sebagai manusia'

Mantan mahasiswa internasional Akanksha — yang tidak mau disebut nama keluarganya - pernah tinggal di sebuah kamar bersama dua orang lainnya selama beberapa bulan.

Dia tiba di Melbourne dari India untuk belajar mengenai majemen proyek di tahun 2016.

Dia mengatakan di dapur tidak ada bak untuk mencuci piring dan dia selalu ketakutan akan mengalami 'kecelakaan' tinggal di akomoidasi yang penuh sesak tersebut.

"Saya tidak pernah merasa aman sama sekali." katanya.

"Pemilik akomodasi hanya mementingkan uang, mereka tidak menganggap kami sebagai manusia, dan mereka tahu bahwa para mahasiswa memerlukan tempat tinggal selagi kuliah."

Dr Berg mengatakan cerita di media mengenai akomodasi mahasiswa ini seperti "puncak gunung es" dan pihak berwenang harus melakukan sesuatu.

"Pemerintah jarang mengambil tindakan. Ketika ada tindakan, hukumannya lemah, jadi tidak ada peluang bagi menurunnya tingkat ekploatasi." katanya.

Laporan tersebut membuat tujuh rekomendasi diantaranya mendesak universitas dan pemerintah menyediakan akomodasi lebih banyak bagi mahasiswa internasional, menyediakan bantuan hukum lebih bagus, dan memastikan pemilik akomodasi mendapat pengawasan lebih ketat.

Di tahun 2018 ada sekitar 876 ribu mahasiswa internasional yang mengikuti pendidikan di universitas, sekolah kejuruan, kursus bahasa Inggris dan sekolah menengah di Australia.

Lihat artikel selengkapnya dalam bahasa Inggris di sini

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement