Selasa 03 Dec 2019 22:00 WIB

Pendudukan Israel Perburuk Krisis Ekonomi Palestina

Palestina mengalami kerugian ekonomi hingga lebih dari 2,5 miliar dolar AS per tahun

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
Militer Israel menghancurkan bangunan milik warga Palestina di Sur Baher, Yerusalem Timur, Senin (22/7) waktu setempat. Pendudukan Israel memperburuk krisis ekonomi Palestina.
Foto: AP Photo/Mahmoud Illean
Militer Israel menghancurkan bangunan milik warga Palestina di Sur Baher, Yerusalem Timur, Senin (22/7) waktu setempat. Pendudukan Israel memperburuk krisis ekonomi Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Pendudukan Israel telah menyebabkan Palestina mengalami kerugian ekonomi hingga lebih dari 2,5 miliar dolar AS per tahun. Pada periode 2000-2017, total kerugian Palestina mencapai 47,7 miliar dolar AS.

Hal itu terungkap dalam laporan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTD). "Dalam dekade terakhir, beberapa studi dan laporan UNCTAD telah membahas kebocoran fiskal Palestina ke Israel. Kebocoran fiskal ini mendorong organisasi internasional lainnya untuk mempertanyakan masalah ini," ujar Mustaim Elagraa, seorang ekonom yang menghadiri konferensi UNCTD di Jenewa, Swiss, pada Senin (2/12) dikutip Anadolu Agency.

Baca Juga

Kerugian sebesar 47,7 miliar dolar AS pada periode 2000-2017 termasuk bunga 28 miliar dolar AS yang masih harus dibayar Palestina kepada Israel. Sementara 6,6 miliar dolar AS lainnya berbentuk kebocoran pendapatan fiskal Palestina.

Dalam laporan UNCTD disebutkan jumlah kerugian tersebut sebenarnya dapat menutupi defisit anggaran Otoritas Palestina sebesar 17,7 miliar dolar AS selama periode yang sama. Jika dana sebesar 47 miliar dolar AS itu diinvestasikan dengan bijak, Palestina dapat membuka dua juta lapangan pekerjaan atau sekitar 110 ribu per tahun.

"Perkiraan kerugian fiskal pendudukan kumulatif oleh Israel ini tidak hanya akan menghilangkan defisit anggaran Palestina yang diperkirakan mencapai 17,7 miliar dolar AS selama periode yang sama. Itu juga akan menghasilkan surplus hampir dua kali lipat dari ukuran defisit," kata Mustaim Elagraa.

Laporan UNCTD turut dipresentasikan di Palestine Economic Policy Research Institute (MAS) di Tepi Barat. Peneliti senior MAS Misyef Jameel memang berpartisipasi dalam penyusunan laporan UNCTD perihal kerugian perekonomian Palestina akibat pendudukan Israel.

Menurut Jameel, jumlah kerugian yang terdapat dalam laporan UNCTD diperoleh hanya dengan mengukur dampak fiskal langsung. "Angka sebenarnya untuk semua kerugian kemungkinan jauh lebih tinggi," ujarnya.

Pada September lalu, Bank Dunia mengungkapkan Otoritas Palestina masih menghadapi kesenjangan anggaran mencapai 1,8 miliar dolar AS. Hal itu terjadi meskipun Palestina telah memperoleh pinjaman dana dari Israel.

"Otoritas Palestina menghadapi kesenjangan pembiayaan yang bisa melebihi 1,8 miliar dolar AS untuk 2019, didorong oleh menurunnya aliran bantuan dan transfer pajak yang tidak terselesaikan serta bea masuk yang dipungut Israel atas nama Otoritas Palestina," kata Bank Dunia dalam laporannya dikutip laman Al Arabiya.

Sejak Februari lalu, Israel membekukan transfer pajak pertambahan nilai dan cukai yang dikumpulkannya atas nama Palestina. Hal itu tak pelak memukul perekonomian Palestina.

Presiden Palestina Mahmoud Abbas terpaksa harus memberlakukan kebijakan penghematan anggaran. Salah satu caranya adalah dengan memangkas hampir setengah gaji para pegawai di tubuh pemerintahannya.

Direktur Bank Dunia untuk Tepi Barat dan Gaza Kanthan Shankar menyebut prospek perekonomian untuk wilayah Palestina mengkhawatirkan. "Tekanan likuiditas yang parah telah mulai mempengaruhi kemampuan Otoritas Palestina untuk memenuhi tanggung jawabnya membayar pegawai negeri serta menyediakan layanan publik," ujarnya.

Pada Juni lalu Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan situasi sosial dan ekonomi di Jalur Gaza pun kian memburuk. Blokade Israel menjadi penyebab utama hal tersebut.

“Situasi sosial dan ekonomi di Gaza bergerak dari buruk menjadi lebih buruk,” ujar Direktur Operasi UNRWA di Gaza, Matthias Schmale, saat menghadiri pertemuan yang diselenggarakan Press House pada 30 Juni dilaporkan laman Middle East Monitor.

Menurut dia, blokade Israel yang telah berlangsung selama 12 tahun merupakan penyebab utama memburuknya situasi di Gaza. “Blokade telah menyebabkan tingkat pengangguran yang lebih tinggi, keruntuhan ekonomi, dan pembatasan perdagangan bebas,” ucapnya.

Menurut Biro Pusat Statistik Palestina, jumlah pengangguran di Gaza terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2018, persentase pengangguran di sana mencapai 52 persen dari total populasi sekitar dua juta orang. Jumlah tersebut meningkat delapan persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Program Pangan Dunia PPB (WFP) juga melaporkan bahwa Gaza dibekap rawan pangan. Hal itu mempengaruhi setidaknya dua pertiga penduduk di sana.

Israel mulai menerapkan blokade terhadap Gaza pada 2007. Hal itu terjadi sejak Hamas mengambil alih kontrol daerah tersebut dari tangan Fatah. Sejak saat itu, hubungan dua faksi Palestina tersebut pun tak harmonis. Keduanya kerap terlibat perselisihan. Hal itu turut berperan dalam membuat situasi di Gaza memburuk.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement