Senin 09 Dec 2019 16:49 WIB

Gambia: Myanmar Langgar Konvensi Genosida

Myanmar disebut gagal melindungi etnis minoritas Rohingya.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Pengungsi Rohingya berlayar menggunakan rakit seadanya menyberangi Sungai Naf untuk mencapai wilayah Bangladesh, di Teknaf, Bangladesh, (29/11/2017).
Foto: Susana Vera/Reuters
Pengungsi Rohingya berlayar menggunakan rakit seadanya menyberangi Sungai Naf untuk mencapai wilayah Bangladesh, di Teknaf, Bangladesh, (29/11/2017).

REPUBLIKA.CO.ID, BANJUL -- Menteri Kehakiman Gambia Abubacarr Tambadou mengatakan Myanmar telah gagal melaksanakan kewajibannya melindungi etnis minoritas Rohingya. Myanmar, kata dia, juga telah melanggar Konvensi Genosida PBB.

"Gambia membawa kasus ini ke Pengadilan Internasional (ICJ) karena Gambia yakin bahwa Myanmar telah melanggar Konvensi Genosida," ujar Tambadou dalam wawancara khusus dengan Anadolu Agency, dirilis pada Senin (9/12).

Baca Juga

Menurut dia, apa yang terjadi di Negara Bagian Rakhine merupakan sesuatu yang mengerikan. "Dunia harus meminta pertanggungjawaban Myanmar atas tindakan ini dan satu cara untuk melakukan hal itu adalah proses hukum yang telah dilakukan Gambia," ucapnya.

Tambadou mengaku telah mengunjungi kamp pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh. Menurutnya, apa yang dilihatnya di sana mengingatkannya pada genosida Rwanda.

"Ketika saya duduk di sana bersama para pengungsi dan mereka menceritakan kisah-kisah mereka kepada saya, kisah-kisah ketidakberdayaan dalam menghadapi pemerkosaan massal, pembunuhan massal, itu membawa kembali kenangan menyakitkan tentang genosida Rwanda 1994. Kisah-kisah itu terlalu akrab bagi saya dengan satu setengah dekade interaksi dengan para korban genosida itu," kata Tambadou.

Gambia bersama Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) telah melakukan banyak upaya politik dan diplomatik dalam merespons kekerasan terhadap Rohingya. "Saya pikir itu adalah jalan yang dapat digunakan untuk meminta pertanggungjawaban Myanmar," ujar Tambadou.

Tambadou telah berangkat ke Den Haag, Belanda, pada Jumat pekan lalu. Dia akan menghadiri sidang perdana ICJ terkait dugaan genosida terhadap Rohingya yang dijadwalkan digelar pada 10-12 Desember. Gambia telah meminta ICJ untuk memerintahkan tindakan sementara untuk melindungi hak-hak etnis Rohingya di bawah Konvensi Genosida PBB.

"Gambia percaya pada aturan hukum internasional dan kami memiliki keyakinan penuh pada kemampuan ICJ guna memberikan keadillan. Kami percaya bahwa negara harus dapat menyelesaikan perselisihan mereka secara damai, dan ICJ adalah salah satu forum di mana perselisihan antara negara dapat diselesaikan secara damai," kata Tambadou.

Awal November lalu Gambia telah membawa kasus dugaan genosida yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya ke ICJ. Gambia mengajukan kasus itu dengan mengatasnamakan OKI. Gambia tak merinci tentang gugatannya terhadap Myanmar. Ia hanya mengisyaratkan bahwa Myanmar dapat diselidiki atas dugaan genosida terhadap Rohingya.

Gambia adalah negara pertama yang tidak secara langsung terimbas kejahatan kekejaman massal, tapi menggugat negara lain sebelum ICJ. Gambia dan Myanmar diketahui merupakan negara pihak dalam Konvensi Genosida, yang memberikan kewajiban, termasuk pencegahan dan hukuman kejahatan genosida.

Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dari Rakhine dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.

Pada Agustus 2018, Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida. Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi militer Jenderal Min Aung Hlaing, diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement