Senin 09 Dec 2019 17:36 WIB

Ratusan Sapi Australia Malnutrisi dan Mati Saat Pembibitan di Indonesia

Perdagangan sapi Australia senilai 800 juta dolar AS ke Indonesia dapat terancam.

Red:
.
.

Ratusan sapi indukan asal Australia yang dibeli Pemerintah Indonesia tahun 2018 untuk program pembibitan sapi mengalami malnutrisi atau mati. Pemerintah RI menyalurkan sapi-sapi ini ke puluhan kelompok ternak dan UPT (unit pelaksana teknis) Departemen Pertanian setempat.

Foto-foto yang diperoleh ABC menunjukkan kondisi sapi yang kurus dan malnutrisi serta bangkai sapi yang sudah membusuk dengan tulang-belulang yang menonjol. Sapi-sapi Australia ini dibeli oleh Deptan RI sebagai program pembibitan yang bertujuan meningkatkan swasembada sapi di negara itu.

Baca Juga

PERINGATAN: Artikel ini memuat foto-foto mengerikan.

Australian cattle sold to Indonesia in late 2018 Photo: Foto-foto kondisi sapi Australia yang dibeli Pemerintah RI pada akhir 2018 untuk program pembibitan, menunjukkan banyak yang mengalami malnutrisi atau mati tak terurus. (Istimewa)

 

Pada akhir 2018, Pemerintah RI membeli ribuan ekor sapi Australia untuk program sapi indukan dengan target hingga 6000 ekor yang akan dibagikan ke para peternak. Menurut laporan media setempat pada 15 November 2018, Deptan RI telah merealisasikan sebanyak 1.225 ekor ke UPT Baturaden, Banyumas.

"Yang sudah datang sekitar 1.225 ekor yang diadakan oleh BBPTU Baturaden," kata pejabat Deptan Sintong Hutasoit seperti diberitakan media Kontan.

Dia menjelaskan juga bahwa distribusi sapi-sapi Australia saat itu sudah disalurkan ke 80 kelompok ternak dan 2 UPT.

"Kami distribusikan untuk 80 kelompok ternak dan 2 UPT di 35 kabupaten pada 5 provinsi, yaitu Yogyakarta, Jatim, Jateng, Jabar dan Kalimantan Barat," jelas Sintong.

Evaluasi atas program ini dari sisi Pemerintah Australia melalui LiveCorp ternyata menemukan setidaknya 72 ekor sapi mati pada bulan Juni lalu. Padahal, katanya, hewan-hewan ini sebenarnya diharapakan bisa bertahan hidup hingga 20 tahun.

Informasi yang diperoleh ABC menyebutkan bahwa pihak LiveCorp juga menemukan ratusan ekor sapi lainnya mengalami malnutrisi. Tapi Pemerintah Australia menolak untuk membuka laporan ini secara penuh.

Hari Jumat pekan lalu, setelah mendapat pertanyaan dari ABC, pihak LiveCorp kemudian merilis laporan ringkasan laporannya di website Deptan Australia.

"Peternak dan koperasi (di Indonesia) secara umum masih membutuhkan dukungan dalam bentuk pelatihan masalah kesehatan dan kesejahteraan hewan," kata LiveCorp dalam laporannya.

 

Menanggapi hal ini, kalangan swasta dan industri peternakan menyatakan khawatir jika isu kesejahteraan hewan memburuk, perdagangan sapi Australia senilai 800 juta dolar AS ke Indonesia dapat terancam.

Menurut CEO Dewan Ekspor Ternak Australia (ALEC) Mark Harvey-Sutton, foto-foto kondisi sapi Australia itu "mengejutkan". Mark menyebutkan, pihaknya telah menyampaikan isu kesejahteraan hewan kepada Pemerintah ketika kesepakatan program itu dilakukan.

"Kami sebagai industri telah menyatakan kekhawatiran ini kepada Pemerintah ketika dilakukan tender. Sebab ada keraguan industri Australia untuk memasok sapi-sapi ini," jelasnya.

Mark menegaskan bahwa bila nanti ada lagi permintaan bibit sapi Australia untuk program pemuliaan sapi di Indonesia, maka perlu dipertimbangkan cara yang berbeda.

Kinerja program pembibitan sapi

Mark Harvey-Sutton mengaku sudah melihat laporan lengkap dari LiveCorp. Dan katanya ada ternak yang menunjukkan kinerja sangat baik dan ada pula yang sangat buruk.

Dia menyebutkan sekitar 300 sapi Australia yang disalurkan ke peternak di Indonesia memiliki Skor Kondisi 1. Skor tersebut merupakan yang terburuk untuk industri ini, yang menunjukkan sapi-sapi itu tidak memiliki daging dan hanya tulang-belulang.

"Sayangnya pemantauan program ini berakhir sekitar Juli lalu. Tapi ada keinginan kalangan industri di Indonesia untuk membantu," kata Mark.

"Sapi-sapi itu mungkin sudah membaik kondisi pada waktu itu. Atau bisa juga jadi lebih buruk," ujarnya.

 

Dalam keterangannya kepada media Kontan pada November 2018, Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Deptan RI Sugiyono menjelaskan pengadaan 6.000 sapi induk dari Australia ini dilaksanakan oleh 3 UPT. Ketiga UPT ini yakni Baturaden, Sembawa dan Maros dengan anggaran Rp 150 miliar.

Namun sampai akhir tahun 2018 dilaporkan bahwa penyaluran sapi pembibitan tersebut belum merata ke seluruh tempat.

Mark Harvey-Sutton dari Dewan Ekspor Ternak Australia mengatakan, pihaknya terus mendukung upaya Indonesia untuk mencapai swasembada daging sapi.

Namun dia mengingatkan bahwa program pemuliaan sapi itu dilakukan antara pemerintah kedua negara, bukan oleh pihak swasta. Laporan LiveCorp menunjukkan tingkat kematian sapi dalam program ini lebih tinggi daripada yang terjadi dalam perdagangan komersial.

 

"Sudah menjadi kewajiban kami sebagai industri untuk mengatasi permasalahan ini. Tapi karena ini program bantuan pemerintah maka Pemerintah Australia wajib mengatasinya," katanya.

Menteri Pertanian Australia Bridget McKenzie kepada ABC mengatakan telah meminta masukan dari departemennya bagaimana mengatasi masalah kesejahteraan hewan.

"Sama seperti Australia yang tidak ingin Indonesia ikut campur soal peternakan kita, maka kita pun harus memahami bahwa Indonesia merasakan hal yang sama," kata Menteri McKenzie.

"Kita memiliki hubungan panjang dan solid dengan Indonesia dalam perdagangan daging," tambahnya.

 

Juru bicara Deptan menyatakan pihaknya tidak memiliki kewenangan lagi begitu ternak tersebut tiba di negara lain.

"Deptan bekerjasama dengan industri Australia dan Indonesia dalam meningkatkan manajemen ternak setelah tiba di negara itu," katanya.

Senator Australia Mehreen Faruqi yang dimintai komentar menyatakan LiveCorp perlu "berterus terang" mengenai apa yang terjadi dengan program pembibitan sapi ini.

"Foto-foto sapi Australia dalam kondisi sengsara dan mati ini menjijikkan," kata Senator Faruqi.

Pihak LiveCorp yang dihubungi menolak untuk berkomentar.

 

Simak berita-berita menarik lainnya dari ABC Indonesia.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement