Jumat 10 Jan 2020 09:19 WIB

Cina-Rusia Awasi Situasi Iran

Amerika Serikat mengatakan pembunuhan Qassem Soleimani sebagai tindakan bela diri.

Warga memeperhatikan gundukan tanah bekas tembakan roket Iran di Duhok ,Iraq, Rabu (8/1)
Foto: REUTERS/Ari Jalal
Warga memeperhatikan gundukan tanah bekas tembakan roket Iran di Duhok ,Iraq, Rabu (8/1)

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Cina mengatakan terus memantau dan mengawasi perkembangan di Timur Tengah. Beijing menyatakan sikapnya mengenai situasi di sana bakal sejalan dengan Rusia.

"Cina terus mengawasi situasi di Timur Tengah. Kami juga menjaga hubungan dekat dengan semua pihak, termasuk Rusia," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Geng Shuang pada Kamis (9/1), dikutip laman kantor berita Rusia, TASS.

Baca Juga

Geng mengungkapkan, Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi telah melakukan pembicaraan via telepon dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov. Mereka bertukar pandangan tentang kerja sama, khususnya di Dewan Keamanan PBB.

"Cina dan Rusia adalah mitra strategis dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Kami memiliki sikap yang sama (mengenai situasi di Timur Tengah)," ujar Geng.

Dia mengatakan, Cina siap berkoordinasi erat dengan Rusia untuk menjaga hukum internasional dan stabilitas regional. "Cina juga memainkan peran yang bertanggung jawab dan konstruktif dalam proses yang terjadi di Timur Tengah," katanya.

Sementara, Presiden Rusia Vladimir Putin pada Rabu (8/1) melakukan kunjungan ke Istanbul, Turki, guna menemui Presiden Recep Tayyip Erdogan. Di sela penandatangan kerja sama, mereka juga mengeluarkan pernyataan bersama terkait situasi di Iran. “Kami sangat merisaukan meningkatnya tensi antara AS dan Iran serta dampak negatifnya terhadap Irak,” tertulis dalam pernyataan bersama itu.

Mereka berdua meyakini, saling tukar serangan tak akan menghasilkan solusi bagi kompleksnya persoalan di Timur Tengah. Alih-alih, hal itu akan memicu siklus instabilitas baru dan merusak kepentingan semua pihak.

Pernyataan Cina dan Rusia serta Turki tersebut menunjukkan bahwa jika dilanjutkan, konflik AS-Iran kali ini berpotensi menyeret banyak pihak. Cina dan Rusia serta Turki kerap berada dalam posisi antagonistis terhadap AS di regional tersebut.

Ketegangan membekap Timur Tengah sejak Amerika Serikat (AS) membunuh Komandan Pasukan Quds Mayor Jenderal Qassem Soleimani di Bandara Internasional Baghdad, Irak, pekan lalu. Pasukan Quds merupakan saya Garda Revolusi Iran yang bertanggung jawab atas operasi ekstrateritorial dan kontraintelijen di kawasan.

photo
Tangkapan layar stasiun TV resmi Iran menayangkan peluncuran roket-roket yang ditembakkan ke arah markas militer AS di Irak Rabu (8/1).

Bela diri

Kepada PBB, Amerika Serikat mengatakan, pembunuhan Qassem Soleimani pekan lalu dilakukan sebagai tindakan bela diri. AS juga berjanji akan melakukan tindakan tambahan “yang diperlukan” di Timur Tengah demi melindungi personel dan kepentingan AS di kawasan itu.

Iran membalas pembunuhan Soleimani dengan menembakkan rudal ke fasilitas militer AS di Irak pada Rabu (8/1). Presiden Donald Trump mengatakan tidak ada warga Amerika yang terluka, menurunkan kepanikan atas kematian Soleimani, dan respons Iran yang dapat menimbulkan konflik lebih luas lagi di Timur Tengah.

"AS juga siap terlibat dalam negosiasi serius tanpa prasyarat dengan Iran, yang bertujuan mencegah semakin membahayakan perdamaian dan keamanan internasional atau ketegangan dengan rezim Iran," kata Duta Besar AS untuk PBB Kelly Craft dalam suratnya ke Dewan Keamanan PBB, Kamis (9/1).

Dalam surat itu, Craft menulis pembunuhan Soleimani di Baghdad pada Jumat (3/1) lalu dapat dibenarkan dalam Pasal 51 Piagam PBB. "Amerika Serikat bersiap untuk mengambil langkah tambahan di kawasan yang dibutuhkan untuk terus melindungi personel dan kepentingan AS," katanya.

Dalam pasal 51, negara harus memberikan 'laporan langsung' kepada 15 anggota Dewan Keamanan PBB atas langkah apa pun yang mereka ambil dalam melaksanakan hak mereka membela diri. AS juga menggunakan pasal 51 untuk membenarkan langkah mereka di Suriah melawan ISIS pada 2014 lalu.

Craft mengatakan, kematian Soleimani dan serangan udara AS di Irak dan Suriah pada 29 Desember terhadap kelompok milisi yang didukung Iran adalah respons dari serangkaian serangan dari kelompok bersenjata dalam beberapa bulan terakhir. Craft menyatakan, kelompok-kelompok bersenjata itu menyerang pasukan dan kepentingan AS di Timur Tengah.

Ia juga mengatakan, langkah AS bertujuan untuk mencegah Iran melakukan atau mendukung serangan lain serta menurunkan kemampuan mereka dalam menggelar serangan.

Dalam surat yang diberikan kepada Dewan Keamanan PBB pada Rabu (8/1), Iran juga membenarkan tindakan mereka menggunakan Pasal 51 Piagam PBB. Para diplomat PBB mengatakan, surat AS sampai ke Dewan Keamanan setelah surat dari Iran.

Dalam surat tersebut, Duta Besar Iran untuk PBB Majid Takht Ravanchi mengatakan Iran tidak 'ingin meningkatkan ketegangan atau perang'. Mereka melaksanakan hak mereka dalam mempertahankan diri dengan mengambil 'langkah dan respons militer yang pas mengincar pangkalan udara Amerika di Irak'.

"Operasi dilakukan dengan presisi dan mengincar target militer yang tidak meninggalkan korban jiwa dari warga sipil atau aset sipil di wilayah tersebut," kata Ravanchi.

Sementara, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan masyarakat di Timur Tengah menginginkan AS hengkang dari kawasan tersebut. Menurutnya, masyarakat di sana sangat marah dengan keberadaan Washington.

"AS harus menyadari kenyataan bahwa orang-orang di kawasan ini sangat marah bahwa masyarakat di kawasan ini menginginkan AS hengkang, dan AS tidak bisa bertahan di kawasan ini," kata Zarif dalam petikan wawancaranya dengan CNN, yang diunggah melalui akun Twitter pribadinya, Kamis (9/1).

Wawancara itu dilakukan sebelum Iran melancarkan serangan misil ke basis militer AS di pangkalan Ain al-Asad dan Erbil, Irak, pada Rabu (8/1). Dalam wawancara tersebut, reporter CNN bertanya kepada Zarif tentang apakah dia berpikir Iran dapat melancarkan serangan ke AS dari berbagai titik.

Pertanyaan itu diajukan karena Iran mengontrol sejumlah kelompok milisi dan banyak pasukan di Timur Tengah. "Tidak, kami memiliki masyarakat di pihak kami di kawasan ini. Itu jauh lebih penting," ujar Zarif.

Zarif pun menyinggung tentang peralatan militer canggih Washington yang menyedot dana hingga mencapai 2 triliun dolar AS. "Peralatah militer yang bagus tidak mengatur dunia. Rakyat yang mengatur dunia," ucapnya.

Dia menilai Trump telah mengonsumsi informasi keliru. "Dia harus sadar dan meminta maaf. Dia harus mengubah arah. Dia tak bisa menambah kesalahan di atas kesalahan lain. Dia hanya membuatnya lebih buruk untuk Amerika," ujar Zarif. n kamran dikarma/lintar satria/reuters, ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement