Selasa 14 Jan 2020 06:15 WIB

Erdogan Harap Tandatangan Gencatan Senjata Libya Terlaksana

Pada Ahad, pihak yang bertikai dalam konflik Libya menerima seruan gencatan senjata,

Rep: Fergi Nadira/ Red: Dwi Murdaningsih
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Foto: FAZRY ISMAIL/EPA-EFE
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengharapkan implementasi penandatanganan gencatan senjata di Libya, Senin (13/1). Gencatan senjata sudah diserukan Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin, Ahad kemarin dan disepakati antara pasukan jenderal Khalifa Haftar Libyan National Army (LNA) dan Pemerintah Kesepakatan Nasional atau Government of National Accord (GNA) yang diakui secara internasional.

"Saya terutama berharap untuk penandatangan perjanian gencatan senjata (di Libya) dalam waktu dekat," ujar Erdogan seperti dikutip Anadolu Agency, Selasa (14/1).

Baca Juga

Erdogan mengatakan, delegasi Turki dan semua pihak terkait konflik di Libya kini tengah mengadakan pertemuan di ibu kota Rusia, Mosksow yang kata dia, akan meletakkan dasar bagi Berlin Process.

Pertemuan di Moskow diadakan untuk memdiasi pembicaraan antara Kepala GNA Fayez al-Sarraj, dan jenderal LNA Khalifa Haftar. Sejak September lalu, sebagai bagian dari Berlin Process, beberapa pertemuan tingkat tinggi diadakan di ibu kota Jerman dalam harapan pengakhiran konflik Libya dengan partisipasi Prancis, Italia, Jerman, dan Inggris.

Pada Ahad, pihak yang bertikai dalam konflik Libya mengumumkan menerima seruan gencatan senjata dari Erdogan dan Putin. Gencatan senjata pun mulai berlaku pada Ahad tengah malam waktu setempat. Keputusan ini tentu dirayakan dengan kembang api di Tripoli.

Sementara itu, Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte yang tengah berada bersama Erdogan mengatakan, gencatan senjata di Libya akan membuka jalan bagi peluang penting. Dia juga berharap Libya dapat memasuki proses damai.

Menurutnya, Berlin Process membuat ketegangan di Libya akan berubah menjadi proses politik. "Libya yang tidak terbagi, merdeka, dan berdaulat. Inilah tujuannya," katanya. "Italia akan menggunakan semua kemampuannya untuk membantu mewujudkan demokrasi," ujarnya menambahkan.

Libya telah dilanda krisis sejak 2011, yakni ketika pemberontakan yang didukung NATO melengserkan mantan presiden Muammar Qadafi. Dia telah memimpin negara tersebut lebih dari empat dekade. Qadafi pun tewas setelah digulingkan.

Sejak saat itu kekuasaan politik Libya terpecah dua. Basis pertama memusatkan diri di Libya timur dengan pemimpinnya Khalifa Haftar. Sementara itu, basis yang didukung PBB berada di Tripoli.

Menurut data PBB, lebih dari 280 warga sipil dan sekitar 2.000 milisi tewas sejak Haftar melancarkan serangan untuk merebut Tripoli. Sementara 146 ribu warga Libya telah mengungsi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement