REPUBLIKA.CO.ID, MOSCOW -- Pihak oposisi pemerintah Rusia pada Senin mengungkapkan rencananya menggelar demonstrasi besar-besaran untuk menentang usulan Presiden Vladimir Putin untuk mengubah konstitusi. Perubahan konstitusi tersebut mengarah pada keuntungan bagi Putin agar bisa menjabat seumur hidup.
"Masyarakat membutuhkan sebuah unjuk rasa yang besar dan sungguh-sungguh," kata seorang politisi oposisi, Ilya Yashin, yang menganggap bahwa amendemen konstitusi sama saja dengan pergerakan menuju "memerintah selamanya".
Pekan lalu, Putin mengungkapkan pernyataan yang mengguncang sistem politik Rusia, yakni mengenai amendemen konstitusi untuk membuat pusat kekuasaan baru di luar kepresidenan. Usulan itu dianggap sejumlah pihak sebagai upaya mempertahankan kekuasaan usai masa jabatannya habis pada 2024 mendatang.
Usulan Putin kemudian membuat Perdana Menteri Dmitry Medvedev mengundurkan diri dari jabatan di pemerintahan. Yashin mengatakan, unjuk rasa tersebut nantinya akan menjadi sebuah aksi protes politik, dengan tujuan utama menyerukan pergantian kekuasaan serta menentang perebutan kuasa.
Yashin mengatakan, aksi tersebut akan digelar pada 29 Februari 2020 di Ibu Kota Moskow. Menurut Yashin, pihaknya akan segera mengurus izin unjuk rasa dari pemerintah Moskow.
Yashin menyebut bahwa rencana unjuk rasa itu mendapat dukungan dari berbagai kelompok antipemerintahan, salah satunya Yayasan Antikorupsi milik politisi oposisi Alexei Navalny. Putin mendominasi dunia politik Rusia, baik itu sebagai presiden maupun sebagai perdana menteri dalam dua dekade terakhir.
Usulan Putin terhadap konstitusi yang perlu mendapat persetujuan nasional dengan jalan pemungutan suara yang masih belum mempunyai rencana waktu spesifik itu hingga saat ini belum memicu aksi massa besar-besaran.
Sebuah unjuk rasa yang dilakukan oleh lebih dari seribu orang pada Ahad (19/1) di Moskow, disebut oleh para pengkritik pemerintahan sebagai protes melawan usulan perubahan konstitusi, namun banyak demonstran justru mengangkat isu lain.