Rabu 29 Jan 2020 20:30 WIB

Aktivis Palestina: Trump Amankan Kepentingan Israel

Rencana perdamaian untuk Palestina dan Israel yang digagas Trump dikecam.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana perdamaian Timur Tengah bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih.
Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana perdamaian Timur Tengah bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih.

REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Aktivis Palestina Fakhry Abu Diab mengecam rencana perdamaian Timur Tengah yang digagas Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Menurutnya, rencana itu merupakan Deklarasi Balfour terbaru.

"Dia (Trump) memberikan apa yang bukan miliknya kepada orang-orang yang tidak memiliki hak untuk hal itu. Jelas bahwa Trump mengulangi sejarah dengan menetapkan Deklarasi Balfour terbaru," kata Abu Diab saat diwawancara Aljazirah, Rabu (29/1).

Baca Juga

Menurut dia, rencana Trump hanya mengamankan kepentingan politik Israel. Hal itu pun melanggar hukum internasional dan beberapa pilar utama negara Palestina, termasuk Yerusalem dan Lembah Yordania.

"Setelah puluhan tahun mengorbankan hidup kami untuk perjuangan ini, kami menginginkan kemerdekaan dan negara Palestina di sepanjang perbatasan 1967, bukan keuntungan ekonomi. Kami sepenuhnya menolak rencana ini dan akan terus memperjuangkannya," ujar Abu Diab.

Deklarasi Balfour merupakan sebuah pernyataan publik yang ditandatangani dan dipublikasikan mantan menteri luar negeri Inggris James Arthur Balfour pada 2 November 1917. Dalam surat tersebut, Balfour mengungkapkan bahwa Pemerintah Inggris bersimpati dan memandang positif aspirasi Zionis untuk mendirikan tanah air bagi bangsa Yahudi di Palestina.

Kala itu Palestina merupakan wilayah kekuasan Kekaisaran Ottoman yang tengah berkonfrontasi dengan Inggris dan sekutunya dalam Perang Dunia I. Pada 9 November 1917, Balfour menyerahkan surat yang ditandatanganinya kepada Lord Rotschild, pemimpin komunitas Yahudi Inggris. Hal itu seolah mempertegas bahwa Inggris mendukung lahirnya sebuah "rumah" bagi orang-orang Yahudi di Palestina.

Deklarasi Balfour mendorong migrasi besar-besaran orang-orang Yahudi dari seluruh dunia ke Palestina. Gelombang migrasi membuat situasi di Palestina memanas. Inggris, yang kala itu menguasai Palestina akhirnya menarik diri. PBB pun mengambil alih dan menyepakati wilayah Palestina dibagi dua, yakni Arab-Palestina dan Yahudi-Israel.

Pada Mei 1948, Israel mendeklarasikan dirinya sebagai negara. Hal itu ditentanng oleh sejumlah negara Arab. Peperangan pun pecah antara Israel dengan Yordania, Mesir, Suriah, dan Irak. Israel memenangkan pertempuran. Akibatnya lebih dari 700 ribu warga Palestina harus terusir dari tanahnya sendiri. Peristiwa itu dikenal sebagai al-Nakba atau Malapetaka.

Dalam rencana perdamaian Timur Tengah bikinan Trump, AS tetap menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang tak terbagi. Trump pun mengakui pendudukan Israel atas sebagian wilayah Tepi Barat dan Lembah Yordan.

Sementara untuk Palestina, Trump mengusulkan Abu Dis sebagai ibu kota negara. Abu Dis adalah sebuah kota yang berada di Yerusalem Timur. Terkait hal itu, Trump menetapkan lini waktu selama empat tahun bagi Israel dan Palestina untuk menyetujui pengaturan keamanan.

Trump mengatakan dalam 10 tahun ke depan akan ada 1 juta pekerjaan baru bagi warga Palestina. Selain itu, investasi sebesar 50 miliar dolar AS akan ditanamkan di Palestina. Hal itu bertujuan membantu perekonomian Palestina.

Detail rencana itu tentu banyak mengabaikan tuntutan Palestina dan mengabulkan sebagian besar permintaan Israel. Palestina diketahui telah berulang kali menegaskan bahwa mereka hendak menjadi negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Palestina pun kerap menyatakan hal tersebut tak dapat ditawar.

Kemudian perihal solusi ekonomi, Palestina menolaknya. Menurutnya, solusi politik lebih dibutuhkan dalam menyelesaikan konflik dengan Israel. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement