Rabu 15 Jan 2020 09:17 WIB

Pemimpin Oposisi Kamboja akan Hadapi Pengadilan

Pemimpin oposisi Kamboja diadili setelah dua tahun ditangkap atas tuduhan berkhianat.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
Kem Sokha
Foto: Amnesty
Kem Sokha

REPUBLIKA.CO.ID, PHNOM PENH -- Pemimpin oposisi Kamboja Kem Sokha akan diadili pada Rabu (15/1). Persidangan itu akan digelar lebih dari dua tahun setelah penangkapannya karena pengkhianatan.

Pengadilan di Phnom Penh mengatakan, hanya 30 orang yang akan diizinkan untuk menyaksikan persidangan. Persidangan tersebut dijadwalkan berlangsung selama dua hari sejak 15 Januari dan harus mendaftar terlebih dahulu. 

Baca Juga

Polisi dan polisi militer dikerahkan di seluruh ibukota. Tidak jelas kapan putusan akan diumumkan dan bisa berbulan-bulan sebelum keputusan dibuat.

Terlaksananya peradilan itu diduga merupakan tanggapan atas desakan Uni Eropa (UE). Organisasi antarpemerintahan itu diperkirakan akan mengumumkan keputusan apakah akan menarik kembali perjanjian perdagangan preferensial Everything But Arms (EBA) pada pertengahan bulan depan. EBA merupakan inisiatif dari UE di mana semua impor ke UE dari negara-negara tertentu menjadi bebas bea dan bebas kuota, dengan pengecualian persenjataan

Kondisi memburuknya hak asasi manusia di Kamboja menjadi penilaian penting bagi UE. Penangkapan Kem Sokha dan penumpasan oposisi adalah di antara keprihatinan utama UE ketika mengumumkan peninjauan.

Dosen di Universitas Lund yang meneliti Kamboja Astrid Noren-Nilsson mengatakan, hampir pasti Kem Sokha akan dinyatakan bersalah. Sebab, membebaskannya akan melemahkan tuduhan pengkhianatannya terhadap pemerintah.

Namun, Noren-Nilsson menjelaskan, setelah putusan diberikan, pengampunan kerajaan dapat diberikan untuk Kem Sokha. Di Kamboja, grasi kerajaan telah diberikan kepada politisi oposisi tingkat tinggi, termasuk Sam Rainsy. Mereka sering diminta oleh Hun Sen dan diberikan oleh Raja Norodom Sihamoni.

"Hasil dari persidangan adalah satu-satunya masalah terpenting bagi perkembangan politik di Kamboja," kata Noren-Nilsson, dikutip dari Aljazirah.

Hasil pengadilan akan menjadi faktor utama dalam hubungan Kamboja dengan UE dan Barat. Terlebih lagi, Noren-Nilsson melihat keputusan akhir Februari tentang status EBA negara itu begitu penting.

"Tetapi hasil dari persidangan bukanlah perubahan permainan. Pemerintah telah keluar dengan tekad untuk memblokir oposisi yang efektif untuk masa mendatang," ujar  Noren-Nilsson.

Presiden Cambodia National Rescue Party (CNRP) Kem Sokha ditangkap pada dini hari 3 September 2017. Dia kemudian didakwa dengan pengkhianatan, dituduh bekerja sama dengan Amerika Serikat (AS) untuk menggulingkan pemerintah lama Hun Sen di Kamboja.

Penangkapan itu terjadi ketika dukungan untuk CNRP melonjak di antara warga Kamboja. Tuduhan pengkhianatan muncul karena pidato Kem Sokha yang diberikan di Australia pada 2013. Dalam pembicaraan itu, dia berbicara tentang menerima pelatihan AS tentang cara membangun dukungan akar rumput.

Jika terbukti bersalah, Kem Sokha menghadapi hukuman penjara 30 tahun. "Tuduhan terhadap Sokha, yaitu klaim bahwa dia 'bersekongkol dengan kekuatan asing' untuk menggulingkan pemerintah, telah ditolak sebagai tidak berdasar oleh siapa pun di luar pemerintah Kamboja," kata peneliti di National Australia Universitas Katrin Travouillon.

Hun Sen mengkonsolidasikan cengkeramannya pada kekuasaan setelah penangkapan Kem Sokha, termasuk membubarkan CNRP. Melarang anggota partai itu terlibat politik dan mendorong politisi oposisi tingkat atas untuk melarikan diri ke luar negeri. Cambodian People's Party (CPP) yang memerintah memenangkan semua 125 kursi untuk diperebutkan dalam pemilihan 2018 yang menurut pengamat itu bentuk tipuan.

Kem Sokha sendiri dibebaskan menjadi tahanan rumah pada akhir 2018 dan dibebaskan pada November tahun lalu. Tidak lama setelah itu, seorang hakim mengumumkan penyelidikan telah selesai. Dia tetap dilarang dari politik dan tidak diizinkan bepergian ke luar negeri. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement