Jumat 08 May 2020 11:36 WIB

Pemerintah Diminta Lebih Responsif Lindungi Petani

Saat ini harga panen padi jauh di bawah HPP yaitu Rp 4.200/kg

Sejumlah petani beraktivitas menanam padi pada lahan pertanian di wilayah Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (5/5/2020). Kementerian Pertanian tengah mempersiapkan kerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam pembukaan lahan pertanian atau cetak sawah seluas 600.000 hektare yang terdiri dari 400.000 hektare lahan gambut dan 200.000 hektare lahan kering sebagai antisipasi terjadinya kekeringan dan ancaman kelangkaan pangan, seperti yang diperingatkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).
Foto: ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho
Sejumlah petani beraktivitas menanam padi pada lahan pertanian di wilayah Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (5/5/2020). Kementerian Pertanian tengah mempersiapkan kerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam pembukaan lahan pertanian atau cetak sawah seluas 600.000 hektare yang terdiri dari 400.000 hektare lahan gambut dan 200.000 hektare lahan kering sebagai antisipasi terjadinya kekeringan dan ancaman kelangkaan pangan, seperti yang diperingatkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR — Pemerintah diminta agar bersikap lebih responsif menyikapi persoalan petani. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Gerakan Petani Nusantara (GPN) harga panen padi jauh di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yaitu Rp. 4.200/kg. Kondisi ini sangat menyulitkan petani yang sekarang sedang menghadapi panen raya di sejumlah daerah seperti Jawa, sebagian wilayah Sumatera dan Sulawesi Selatan.

“Berdasarkan hasil survei kami mendapati bahwa harga panen padi (GKP) di Pati menyentuh harga Rp. 3.100/kg, Sukoharjo Rp. 3.000/kg, Demak Rp. 4.000/kg, Pekalongan Rp. 3.750/kg, Nganjuk Rp. 3.950/kg, dan masih banyak lagi petani-petani di sentra produksi padi daerah lainnya yang menerima harga tidak layak,” kata Said Abdullah, sekretaris umum GPN, kepada Republika di Jakarta, Jumat (8/5).

Said mengatakan hancurnya harga panen petani ini disebabkan jalur distribusi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya di tengah pandemi Covid-19. Bahkan, rencana pemberian insentif kepada 2,44 juta petani dalam bentuk sarana produksi pertanian (saprodi) maupun Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 300 ribu per bulan dinilai tidak akan terlalu banyak membantu.

“Yang dibutuhkan petani adalah menerima harga yang layak dari hasil panennya. Seharusnya pemerintah dapat memberikan insentif dalam bentuk-bentuk yang lain yang lebih tepat,” ujar Said.

Said juga menyarankan dalam situasi harga panen petani yang turun ini, maka sebuah kewajiban bagi pemerintah, dalam hal ini Bulog, untuk melakukan penyerapan gabah dengan HPP yang sudah ditetapkan. “Penyerapan hasil panen oleh Bulog ini tentunya akan membantu menstabilkan harga pembelian di petani,” ujarnya.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Dr Suryo Wiyono, staf pengajar dari IPB. Ia mengatakan salah satu titik penanganan Covid-19 yang belum mendapat perhatian pemertintah adalah meng-handle petani sebagai produsen pangan.

“Jatuhnya harga gabah secara merata di seluruh Indonesia, karena terpuruknya distribusi. Pemerintah perlu turun tangan untuk hadir untuk mengatasi keterpurukan petani ini”.

Suyo meminta dan mendorong Bulog yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah, untuk menyalurkan bantuan pangan kepada masyarakat pra-sejahtera pada masa pandemik ini. Opsi ini, kata dia, dilakukan di luar dari BNPT yang sudah berjalan.

“Opsi ini dapat mendorong Bulog untuk menyerap gabah petani sehingga fungsi Bulog sebagai pengendali harga pasar saat ada panen raya dapat berjalan. Karena jika skema penyaluran dari stok Bulog tidak dipikirkan, maka kejadian tahun lalu dimana Bulog tidak bisa mengeluarkan berasnya dari gudangnya akan kembali terjadi,” paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement