REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI – Libya telah menghadapi gelombang pasang konflik internal yang telah merenggut ribuan nyawa sejak penggulingan Muammar Qadafi pada 2011. Komisi Internasional tentang Orang Hilang (ICMP) menyatakan sekitar 10 ribu orang saat ini hilang di Libya.
Laporan lembaga yang bertujuan untuk mencatat setiap penghilangan orang ini membantah laporan dari Komite Internasional Palang Merah (ICRC). Lembaga tersebut mencatat lebih dari 1.600 orang hilang di Libya dengan total di seluruh Afrika mencapai 44 ribu jiwa.
"Beban kasus ini adalah setetes air di lautan," kata penasihat regional ICRC untuk orang hilang dan keluarga di Afrika, Sophie Marsac, dalam memperingati Hari Internasional Orang Hilang pada 30 Agustus.
Laporan lebih sedikit yang diterima ICRC disebabkan karena catatan tersebut dibuat ketika anggota keluarga membuka kasus dengan organisasi. Hampir setengah dari orang-orang ini adalah anak-anak pada saat mereka menghilang.
Dikutip dari Aljazirah, jumlah dari kedua lembaga kemanusia itu bukan angka yang tidak biasa setelah konflik dan ketidakstabilan yang begitu lama. Contoh saja, konflik dan kekejaman yang menyertai pecahnya Yugoslavia.
Kondisi itu diperkirakan telah menyebabkan 40 ribu orang hilang. Sementara di Suriah dan Irak, estimasi ICMP masing-masing dimulai pada 100 ribu dan 250 ribu orang menghilang.
Sebagian besar, jumlah ini terdiri dari mereka yang hilang selama bertahun-tahun kediktatoran dan konflik. Namun, di Libya, porsi yang signifikan juga dapat dikaitkan dengan perbudakan, perdagangan manusia, dan posisi negara itu dalam jalur migrasi ke Eropa.
Saat ini, ada upaya internasional yang terorganisir untuk menentukan nasib individu yang hilang di seluruh dunia. Misalnya di Balkan Barat, ICMP memelopori penggunaan pencocokan DNA dan informatika basis data yang ketat untuk menemukan dan mengidentifikasi ribuan orang hilang.
Hingga saat ini, sebanyak 70 persen dari mereka yang hilang setelah konflik di awal 1990-an kini telah dipertanggungjawabkan. ICMP mengatakan, di Libya telah terjadi kemajuan luar biasa sejak penandatanganan perjanjian kerja sama dengan pemerintah pada November 2012.
Bersama Kementerian Keluarga Martir dan Orang Hilang (MFMM), ICMP membantu mengembangkan Pusat Identifikasi Libya untuk bertindak sebagai titik fokus untuk penyelidikan di seluruh negeri.
Sejak itu, lembaga tersebut telah secara signifikan meningkatkan kapasitas teknis dan ilmiah MFMM dengan menyediakan kursus pelatihan khusus di bidang arkeologi forensik, manajemen TKP, dan pengumpulan sampel referensi DNA.
Secara keseluruhan, ICMP telah membantu pihak berwenang mengidentifikasi 150 individu dan mengumpulkan sampel referensi genetik yang mewakili lebih dari 2.500 orang hilang dari seluruh Libya. Mengingat ketidakstabilan politik yang melanda seluruh negeri, ini adalah hasil yang signifikan.
Tapi, sebagian besar pekerjaan organisasi ini berbasis intelijen. Artinya, banyak waktu dihabiskan untuk mewawancarai saksi dan penyintas kejahatan politik sebelum berangkat ke lapangan untuk mencari bukti fisik.
Sejak pecahnya perang saudara pada 2014, ancaman kekerasan yang terus berlanjut telah membuat operasi semacam itu sangat berbahaya. Kondisi tersebut memaksa ICMP untuk menangguhkan misinya di Libya.
Tantangan lembaga seperti ICMP semakin sulit ketika pandemi virus korona menyerang. Sekarang mustahil bagi analis ICRC untuk mengumpulkan sekelompok besar orang untuk mengidentifikasi nama atau melihat-lihat foto, hingga kesulitan untuk melakukan pencarian skala besar karena pembatasan kegiatan.
Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, ICMP merintis penggunaan citra satelit dan analisis spektral untuk mengidentifikasi kuburan massal. Situs web pelacakan tautan keluarga bernama Lacak Wajah Afrika Selatan dan Lacak Wajah Eropa membantu selama penyebaran Covid-19.
Sekarang kerabat yang kehilangan anggota keluarga dapat melanjutkan pencarian dari jarak jauh. Mereka bisa menggunakan basis data foto digital yang luas melalui bantuan web tersebut.
"Semua keluarga dari semua orang hilang memiliki hak atas keadilan. Negara secara hukum berkewajiban untuk menyelidiki keberadaan orang yang hilang dan keadaan hilangnya mereka sejalan dengan aturan hukum," kata direktur jenderal ICMP, Kathryne Bomberge.
Tapi, Bomberger menekankan, upaya efektif untuk menemukan orang hilang membutuhkan kerja sama antar negara, lembaga internasional, dan masyarakat sipil. Dengan melibatkan negara dalam proses penemuan dan penuntutan. Dia mengatakan organisasi tersebut juga berharap dapat memperkuat institusi nasional.