Uni Eropa siap menjatuhkan sanksi terhadap para pemimpin militer di Myanmar. Langkah tersebut diambil setelah para menteri luar negeri Uni Eropa (UE) bertemu di Brussel pada hari Senin (22/02).
Uni Eropa mengumumkan bahwa mereka "siap untuk mengadopsi langkah-langkah pembatasan dan menargetkan mereka yang secara langsung bertanggung jawab atas kudeta militer dan kepentingan ekonomi Myanmar."
UE juga menyerukan "deeskalasi di tengah krisis yang sedang terjadi" sejak 1 Februari, ketika militer membatalkan hasil pemilu demokratis Myanmar dan mengambil kendali negara itu.
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas mengatakan UE akan menggunakan segala cara diplomatik untuk memastikan berakhirnya konflik di Myanmar.
Sedikitnya, tiga pengunjuk rasa antikudeta Myanmar menjadi korban meninggal sejak Jumat (19/02).
AS keluarkan sanksi baru
Departemen Keuangan Amerika Serikat (AS) pada Senin malam (22/02) memberlakukan sanksi terhadap dua pejabat tinggi militer Myanmar atas peran mereka dalam kudeta tersebut.
Letnan Jenderal Moe Myint Tun dan Jenderal Maung Maung Kyaw ditambahkan ke daftar hitam Departemen Keuangan, aset mereka dibekukan dan melarang warga AS berbisnis dengan mereka.
"Militer harus membatalkan tindakannya dan segera memulihkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis di Burma, atau Departemen Keuangan tidak akan ragu untuk mengambil tindakan lebih lanjut," kata departemen itu dalam sebuah pernyataan.
Kenneth Roth, Direktur Eksekutif Human Rights Watch, mengatakan kepada DW pekan lalu bahwa pemberian sanksi harus lebih dari sekadar menargetkan jenderal perorangan dan mengejar bisnis yang dimiliki militer, agar lebih efektif.
"Militer membutuhkan bisnis itu untuk beroperasi. Dan jika mereka menghadapi sanksi (terhadap bisnis mereka) itu akan memutus kehidupan dan kemampuan mereka untuk mempertahankan aturan represif kudeta mereka," kata Roth.
Pemimpin global desak militer untuk menyingkir
UE juga menyerukan pembebasan segera dan tanpa syarat terhadap pemimpil sipil yang digulingkan Aung San Suu Kyi dan presiden Win Myint, serta sejumlah pejabat lainnya yang telah ditahan selama kudeta militer.
Para pemimpin dunia lainnya juga menentang rezim militer Myanmar. Pengunjuk rasa berkumpul di sejumlah lokasi pada hari Senin (22/02), sehari setelah Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken menyatakan dukungannya secara eksplisit untuk para pengunjuk rasa melalui Twitter.
Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab, mengatakan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB bahwa situasi di Myanmar memburuk.
Raab mengajukan tuntutan agar pemimpin junta militer melepaskan kekuasaannya. "Militer harus menyingkir. Pemimpin sipil harus dibebaskan. Dan keinginan demokratis rakyat Myanmar harus dihormati," katanya.
Kepala PBB Antonio Guterres meminta para jenderal untuk menyerahkan kekuasaan kembali kepada pemerintah sipil.
"Saya menyerukan kepada militer Myanmar untuk segera menghentikan penindasan. Bebaskan para tahanan. Akhiri kekerasan. Hormati hak asasi manusia dan kemauan rakyat yang diungkapkan dalam pemilihan baru-baru ini. Kudeta tidak memiliki tempat di dunia modern kita," kata Guterres.
ha/pkp (dpa, AFP, Reuters)