Selasa 14 Dec 2021 10:58 WIB

Buntut Panjang Pemecatan Guru Berhijab di Kanada

Dicopotnya guru berhijab di Quebec memicu gelombang protes

Rep: Zahrotul Oktaviani / Alkhaledi Kurnialam / Kiki Sakinah / Red: Esthi Maharani
Muslim Kanada
Foto: About Islam
Muslim Kanada

IHRAM.CO.ID, KANADA -- Seorang guru Kelas 3 di Sekolah Dasar Chelsea, Quebec, Kanada dipindahkan dari pekerjaannya sebagai guru di kelas karena menggunakan hijab. Rancangan Undang-Undang (RUU) 21 di Provinsi Quebec yang disahkan pada 2019 melarang pekerja sektor publik mengenakan simbol seperti jilbab, kippah, atau turban saat bekerja. Guru bernama Fatemeh Anvari  itu masih bekerja di sekolah tersebut dalam fungsi lain. Akan tetapi, dewan sekolah tidak mengatakan jenis pekerjaan apa yang dia lakukan sekarang.

Hal ini memicu gelombang protes termasuk dari orang tua siswa di sekolah tersebut. Mereka memasang pita hijau di pagar luar sekolah sebagai tanda dukungan kepada guru. Mereka juga mendorong agar orang-orang membuka suara terkait nasib yang dialami guru tersebut.

"Sebagai salah satu cara untuk membantu menunjukkan dukungan dan solidaritas kepada guru yang terkena dampak RUU 21 ini," kata orang tua Amanda DeGrace kepada CTV News.

"Kami meminta masyarakat untuk berbicara. Sangat, sangat penting sebagai komunitas yang kita bantu untuk menciptakan perubahan dan kita mengambil tindakan agar perubahan itu terjadi," tambahnya.

Dewan Nasional Muslim Kanada (NCCM) bekerja sama dengan Canadian Civil Liberties Association, NCCM berjuang agar RUU tersebut dibatalkan oleh pengadilan karena melanggar hak asasi manusia. NCCM juga mengatakan RUU itu secara tidak adil menargetkan wanita Muslim.

Dilansir di Anadolu Agency, Selasa (14/12), pembahasan seputar RUU itu semakin intensif setelah guru tersebut dicopot dari jabatannya. CEO NCCM, Mustafa Faroow, dalam sebuah pernyataan mengatakan Fatemeh Anvari  merupakan wanita Muslim Quebec pemberani, yang dicopot dari posisinya sebagai guru karena memiliki keberanian mengenakan jilbabnya ke sekolah.

"Kebenaran yang memalukan adalah dia bukan (korban) yang pertama, juga tidak akan menjadi yang terakhir, selama Bill 21 ada," kata dia.

Farooq juga menyebut pertarungan pengadilan ini telah beralih ke Pengadilan Banding Quebec, dalam perjuangan untuk menjatuhkan "hukum keji" tersebut.

Saat ini, lembaga tersebut sedang meminta perhatian orang-orang agar membubuhkan tanda tangan mereka pada petisi, membantu perjuangan agar pemerintah dan anggota parlemen berada di pihak mereka.

"Tanda tangani petisi kami yang meminta Perdana Menteri untuk campur tangan dalam proses legal ini. Advokasi ini menuju sukses, anggota parlemen mulai bangkit untuk meminta Perdana Menteri melakukan hal yang benar. Mari kita wujudkan sekarang," lanjut Farooq.

Lebih lanjut, ia mengatakan perjuangan ini tidak akan berhenti, baik di pengadilan, media, maupun di jalanan, sampai undang-undang tersebut dicabut.

Direktur Asosiasi Kebebasan Sipil Kanada (CCLA), Noa Mendelsohn Aviv mengatakan kepada Reuters bahwa masalahnya bukan Quebec atau Kanada, tetapi hak asasi manusia universal.

"Pada akhirnya manusialah yang didorong keluar dari pekerjaan mereka, manusia yang menderita dan hak-hak dasar yang dilanggar," kata asosiasi itu.

Sementara itu, Perdana Menteri (PM) Kanada Justin Trudeau menjelaskan belum menutup pintu untuk membahas RUU 21 di Provinsi Quebec tersebut.

“Tidak seorang pun di Kanada harus kehilangan pekerjaan mereka karena apa yang mereka kenakan atau keyakinan agama mereka. Kami belum menutup pintu untuk membuat perwakilan di pengadilan di masa depan,” kata kantor Trudeau.

Survei Rumah Tangga Nasional Kanada 2011 memperkirakan Muslim di Kanada sekitar 1.053.945, atau sekitar 3,2 persen dari populasi, menjadikan Islam agama terbesar kedua di negara itu setelah Kristen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement