Selasa 23 Jan 2018 17:18 WIB

Pemulangan Muslim Rohingya Bisa Jadi Mimpi Buruk

Kesepakatan repatriasi Rohingya dinilai belum menyinggung soal hak.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Dalam foto file bulan September 2017, seorang anak Muslim etnis Rohingya menangis ketika berebut pembagian makanan di kamp pengungsian Cox Bazar, Bangladesh.
Foto: AP/Dar Yasin
Dalam foto file bulan September 2017, seorang anak Muslim etnis Rohingya menangis ketika berebut pembagian makanan di kamp pengungsian Cox Bazar, Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM -- Ketua Dewan Rohingya Eropa Hla Kyaw mengatakan kesepakatan repatriasi pengungsi Rohingya yang telah dicapai Bangladesh dan Myanmar adalah mimpi buruk. Sebab kesepakatan tersebut belum menegaskan tentang jaminan keselamatan, keamanan, dan status kewarganegeraan untuk para pengungsi.

"Kesepakatan repatriasi adalah mimpi buruk bagi semua korban genosida Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh. Kami sangat mengkhawatirkannya," kata Kyaw, dilaporkan laman Anadolu Agency, Selasa (23/1).

Menurutnya, kesepakatan repatriasi tercapai ketika warga di negara bagian Rakhine masih banyak yang mengungsi ke Bangladesh untuk menghindari aksi kekerasan militer Myanmar. Terlebih lagi kesepakatan repatriasi belum menyinggung dan menegaskan perihal hak-hak yang harus didapatkan pengungsi Rohingya.

"Kesepakatan itu belum membahas tentang hak asasi manusia. Dan Bangladesh mencoba mengirim mereka kembali," ujar Kyaw.

Selain itu, kesepakatan repatriasi juga tak menjelaskan tentang jaminan keamanan serta keselamatan bagi para pengungsi yang kembali.

"Tidak ada Rohingya yang mau kembali kecuali jika keamanan mereka terjamin karena mereka telah menyaksikan kekejaman yang dilakukan pasukan keamanan Myanmar," kata Kyaw menerangkan.

Ia menilai, isu dan krisis Rohingya dapat diselesaikan dengan bantuan masyarakat internasional. "Militer Myanmar akan melakukan operasi lagi setelah beberapa tahun berselang, kecuali masyarakat internasional mengambil tindakan nyata melawan Myanmar," ujarnya.

Hal senada pun disampaikan Unit Penelitian Pengungsian dan Migrasi (UPPM) yang berbasis di Dhaka, Bangladesh. Koordinator UPPM C.R. Abrar berpendapat, upaya pemenuhan hak-hak dasar Rohingya memang bukan hanya menjadi tanggung jawab Bangladesh atau Myanmar, tapi juga masyarakat internasional.

"Karena itu masyarakat internasional harus terus maju dan berupaya dalam masalah ini. Ini bukan hanya tanggung jawab untuk Bangladesh, tapi masyarakat internasional juga memiliki tanggung jawab," kata Abrar.

Menurutnya, bila repatriasi dilakukan tanpa memerhatikan jaminan keamanan dan pemenuhan hak dasar Rohingya, peristiwa kekerasan terhadap mereka pasti akan kembali terjadi. "Mereka akan kembali ke Bangladesh lagi, seperti yang terjadi pada tahun 1991-1992," ucapnya menjelaskan.

Menteri Luar Negeri Bangladesh A.H. Mahmood Ali, pada akhir pekan lalu mengatakan, negaranya telah berupaya sebaik-baiknya untuk memastikan kesepakatan yang telah tercapai dengan Myanmar memfasilitasi pengembalian yang aman, sukarela, bermartabat, dan berkelanjutan. "Untuk memastikan hal ini, Bangladesh telah memasukkan ketentuan untuk keterlibatan badan pengungsi PBB UNHCR dan organisasi internasional lainnya dalam keseluruhan proses repatriasi," ujar Ali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement