Kamis 22 Feb 2018 12:42 WIB

Bangladesh Siapkan Pulau Terapung Tampung Pengungsi Rohingya

Pemindahan pengungsi ke pulau dinilai bukan ide bagus.

Rep: Marniati/ Red: Nur Aini
Pengungsi Rohingya di Bangladesh
Foto: BPMI
Pengungsi Rohingya di Bangladesh

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Bangladesh sedang mengubah sebuah pulau tak berpenghuni dan berlumpur di teluk Benggala untuk menjadi rumah bagi 100 ribu Muslim Rohingya yang telah melarikan diri dari tindakan militer di Myanmar. Pulau tersebut bernama pulau Terapung yang berarti tidak ada jalan, bangunan, atau orang.

Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina mengatakan penempatan Rohingya di pulau dataran rendah tersebut merupakan pengaturan sementara untuk mengurangi kepadatan di kamp-kamp Cox's Bazar yang berjumlah hampir 700 ribu orang. Mereka telah menyeberang dari utara negara bagian Rakhine di Myanmar sejak akhir Agustus tahun lalu.

Menggambarkan kondisi pulau itu, Hasina mengatakan pada sebuah konferensi pers di Dhaka bahwa pulau tersebut sangat bagus. Ia mengatakan meskipun rencana awalnya adalah menempatkan 100 ribu orang di sana, namun pulau tersebut memiliki ruang untuk satu juta orang.

Namun, salah satu Penasihat Perdana Menteri Bangladesh HT Imam mengatakan, begitu sampai di pulau tersebut, pengungsi Rohingya hanya bisa meninggalkan pulau itu jika mereka ingin kembali ke Myanmar. Mereka juga bisa dipilih untuk mendapatkan suaka oleh negara ketiga.

"Ini bukan kamp konsentrasi, tapi mungkin ada beberapa batasan. Kami tidak memberi mereka paspor atau kartu identitas Bangladesh," kata HT Imam. Ia menambahkan bahwa pulau tersebut akan dilengkapi dengan kamp kepolisian dengan 40-50 personel bersenjata.

Imam menambahkan, saat ini masih terjadi perdebatan terkait mekanisme pemindahan pengungsi Rohingya di Cox's Bazar ke pulau tersebut. Menurutnya hal itu bisa diputuskan dengan undian atau secara sukarela.

Komisaris Tinggi untuk Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa menekankan bahwa rencana relokasi yang melibatkan pengungsi harus didasarkan dan dilaksanakan melalui keputusan sukarela. Menurut rencana arsitektur dan dua surat dari angkatan laut Bangladesh kepada pejabat pemerintah daerah dan kontraktor, proyek tersebut telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir.

Pada 14 Februari diketahui ratusan buruh membawa batu bata dan pasir dari kapal-kapal. Gambar satelit terbaru juga menunjukkan bentuk jalan dan apa yang tampak seperti helipad.

Pulau Terapung, yang terbentuk dari lumpur sekitar 20 tahun lalu, berjarak sekitar 30 km dari daratan. Dataran lumpur ini secara teratur sering banjir selama Juni-September. Penduduk pulau-pulau terdekat mengatakan bajak laut berkeliaran di perairan terdekat untuk menculik nelayan agar mendapatkan uang tebusan.

Rencananya bangunan di pulau ini akan beratap logam dan dilengkapi panel surya. Akan ada 1.440 blok, masing-masing menampung 16 keluarga.

Pembangunan tempat tinggal Rohingya di pulau terapung ini dibantu oleh perusahaan Cina dan Inggris. Insinyur Inggris dan Cina membantu mempersiapkan pulau tersebut untuk menerima pengungsi sebelum musim hujan angin pada April.

Perusahaan konstruksi Cina Sinohydro - yang lebih dikenal untuk membangun Bendungan Tiga Ngarai Cina - telah mulai bekerja di tanggul pertahanan 13 km untuk proyek senilai 280 juta dolar AS tersebut.

Seorang insinyur Sinohydro di Bhasan Char, yang dihubungi melalui telepon mengatakan perusahaan memiliki perjanjian rahasia sehingga pertanyaan tentang pembangunan di pulau tersebut bisa ditanyakan ke pemerintah Bangladesh.

Perusahaan Konsultan llmu hidrolik dan lingkungan Inggris,HR Wallingford awal bulan ini mengatakan bahwa perusahaannya sedang mengerjakan proyek stabilisasi pesisir dan perlindungan banjir.

"Desain infrastruktur pesisir diharapkan mencakup tanggul pertahanan banjir yang melindungi kawasan pengembangan dengan standar internasional, yang berada di garis pantai," katanya. Perusahaan tersebut mengajukan pertanyaan lebih lanjut ke Angkatan Laut Bangladesh.

Sementara itu, Badan kemanusiaan mengkritik rencana untuk memindahkan Rohingya ke pulau itu saat pertama kali diusulkan pada 2015. Pekerja bantuan mengatakan bahwa mereka khawatir pulau lumpur rentan terhadap topan yang sering terjadi dan tidak dapat memberikan mata pencaharian bagi ribuan orang.

Wakil Direktur Asia Selatan untuk kelompok hak asasi manusia Amnesty International, Omar Waraich mengatakan tidak ada seorang pun di komunitas kemanusiaan yang menganggap ini adalah ide bagus. "Ini adalah pulau lumpur yang baru muncul baru-baru ini," katanya.

Warga pulau Sandwip di dekatnya, mengatakan badai topan secara teratur membunuh orang, menghancurkan rumah, dan memutuskan jalur dengan daratan.

Namun, seorang anggota senior staf perdana menteri, Direktur Jenderal Kabir Bin Anwar, mengatakan organisasi kemanusiaan yang sangat kritis terhadap rencana tersebut tidak mengerti topografi Bangladesh.

Ia mengatakan pemerintah sedang membangun tempat perlindungan dari topan di pulau itu. Ia menambahkan di pulau tersebut juga terdapat sawah dan orang-orang yang tinggal di sana bisa memancing atau menggembala sapi dan kerbau.

Anwar juga menolak kekhawatiran tentang distribusi bantuan dasar ke pulau itu. "Kami tidak memerlukan bantuan dari LSM asing atau LSM lokal. Kami bisa memberi mereka makan," katanya.

Warga Bangladesh yang tinggal di pulau-pulau terdekat sangat kritis terhadap usaha pemerintah terhadap Rohingya.

Belal Beg (80 tahun) yang lahir di pulau Sandwip, mengatakan ada perlawanan dari rakyat Bangladesh terkait tindakan pemerintah untuk menyelesaikan krisis Rohingya di Bhasikan Char. Ini dikarenakan sejumlah besar orang Bangladesh mengungsi akibat erosi pantai setiap tahun namun pemerintah tidak melakukan tindakan apapun untuk melindungi mereka. "Pertama-tama kita harus merawat orang kita sendiri tapi pemerintah memutuskan untuk memberi perlindungan kepada imigran," kata Beg.

Banyak orang Rohingya juga menolak gagasan pindah ke sebuah pulau yang lebih jauh lagi dari Myanmar, yang banyak di antaranya telah dipanggil pulang dari generasi ke generasi. Pengungsi Rohingya di kamp pengungsi Chakmakul di Bangladesh, Jahid Hussain mengatakan dia telah meninggalkan Myanmar untuk menyelamatkan hidupnya dan tidak akan mengambil risiko dengan tinggal di Bhasan Char.

"Saya lebih baik mati di sini," katanya.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement