REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYTAW -- Pemerintah Myanmar menolak dua laporan baru-baru ini mengenai tindakan kejahatan yang melanggar hak asasi manusia (HAM) terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya. Pihaknya mengatakan klaim tersebut tidak ada penyokongnya.
Dua laporan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menemukan bahwa Myanmar telah melakukan pelanggaran HAM ekstrem terhadap orang-orang etnis Rohingya. Pelanggaran tersebut kemungkinan besar merupakan kejahatan menurut hukum internasional.
Dewan HAM PBB mendengar kedua laporan tersebut pada Senin (12/3). Dengan satu dari Misi Pencarian Fakta Independen mengenai Myanmar, dan satu lagi dari Yanghee Lee, Pelapor Khusus PBB untuk HAM di Myanmar.
Sementara itu tim penyelidik telah dilarang untuk memasuki Myanmar. Oleh karena itu mereka mengandalkan wawancara dengan pengungsi dan lainnya di Bangladesh, Malysia, dan Thailand.
"Isi informasi dan materi yang kami kumpulkan sangat konkret dan luar biasa," kata para ahli Misi Pencitraan Fakta dalam laporan lisan mereka.
"Ini menunjukkan pelanggaran hak asasi manusia yang paling serius, kemungkinan besar masuk dalam kejahatan di bawah hukum internasional."
Laporan misi tersebut didasarkan pada lebih dari 600 wawancara mendalam dengan para korbandan saksi. Penyidik juga menganalisis citra satelit, foto dan cuplikan video.
"Setiap penolakan atas keseriusan situasi di Rakhine, pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan, dan penderitaan korban, tidak dapat dipertahankan," kata mereka. "Kami memiliki ratusan akun kredibel yang paling menyiksa."
Misi tersebut menemukan bahwa apa yang disebut operasi pembersihan oleh pasukan keamanan Myanmar telah menyebabkan hampir 700 ribu pengungsi Rohingya memasuki Bangladesh. Tindakan yang dilakukan sejak Agustus tahun lalu itu membuat banyak orang Rohingya terbunuh dalam operasi semacam itu.
"Orang-orang meninggal karena luka tembak, seringkali karena penembakan tanpa pandang bulu saat penduduk desa melarikan diri. Beberapa dibakar hidup-hidup di rumah mereka seringkali orang tua, difabel dan anak-anak muda. Yang lainnya diretas sampai mati."
Dalam pernyataannya, Lee mengatakan bahwa tindakan di negara ini menyandang tanda genosida. Dia mewawancarai lebih dari 100 pengungsi di Bangladesh dan mereka mengatakan hal-hal buruk kepadanya.
"Orang tua mengatakan kepada saya bahwa ada catatan mengerikan tentang menyaksikan anak-anak mereka dilemparkan ke dalam api. Korban selamat menggambarkan pasukan keamanan memanggil keluarga dari rumah mereka, memisahkan laki-laki dewasa dan anak laki-laki untuk dieksekusi di depan keluarga mereka atau dibawa pergi. Saya mendengar kesaksian tentang wanita dan anak perempuan yang diperkosa dan kemudian dibunuh, beberapa dibakar hidup-hidup di rumah mereka saat tidak sadar atau terikat," ujarnya melaporkan.
Hal tersebut membuat Lee ragu atas ketulusan Myanmar mengenai pemulangan para pengungsi dari Bangladesh. Terlebih karena kini mereka tidak bisa mengklaim tempat tinggalnya dulu di negara bagian Rakhine karena perkampungan mereka di sana telah rata dengan tanah akibat dibuldoser.
Bahkan citra satelit menunjukkan bahwa Myanmar telah membangun pangkalan militer di lokasi yang telah dibuldoser tersebut. Selain itu, tampaknya ada kebijakan kelaparan paksa, yang dirancang agar tidak ada kehidupan berkelanjutan di Rakhine utara bagi etnis Rohingya yang masih bertahan di sana.
Pemerintah Myanmar menolak legitimasi laporan tersebut. "Kami tidak menyangkal pelanggaran hak tapi kami meminta bukti yang kuat, berdasarkan fakta dan dapat dipercaya atas tuduhan yang mereka lakukan," kata juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay.