REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Australia terus mendesak pemerintah Indonesia untuk membatalkan hukuman mati bagi dua warga negaranya yang merupakan terpidana narkoba Bali Nine. Pengamat hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan, seharusnya pemerintah Australia mencontoh apa yang dilakukan Indonesia.
Hal tersebut terkait standar ganda yang diterapkan oleh Australia saat ini. Sekarang, kalau Indonesia konsisten bisa menjalankan hukuman mati, tapi di satu sisi, kewajiban untuk melidungi warga negara yang di luar negeri juga terus diupayakan.
"Tapi, sampai pada titik kita tidak bisa intervensi lagi, kita tidak mau melakukan intervensi. Kalau harus hukum mati, ya hukum mati," kata Hikmahanto kepada Republika, Senin (16/2).
Hikmahanto mengatakan, standar ganda seperti yang diterapkan Australia saat ini seringkali digunakan oleh negara maju. Standar ganda, lanjutnya, berhubungan erat dengan adanya kepentingan negara tersebut.
Ia pun membandingkan hukuman mati kali ini dengan hukuman mati terhadap terpidana bom bali Amrozi dan kawan-kawan.
"Ketika kepentingan Australia menganggap bahwa Amrozi cs dihukum mati karena banyak warga negaranya yang meninggal, dia setuju. Tapi sekarang ketika kepentingannya mengatakan bahwa 'nanti saya tidak dipilih warga saya kalau tidak berbuat apa-apa', lalu kepentingannya sekarang mengatakan jangan dihukum mati. Ini standar ganda yang harus jadi cerminan," ujarnya.
Hikmahanto mengatakan, ada kekhawatiran bahwa masalah hukuman mati tersebut telah dipolitisasi oleh pihak-pihak tertentu. Pemerintah Australia yang sedang menghadapi masalah politik seperti mosi tidak percaya, kemudian memanfaatkan isu hukuman mati tersebut untuk menaikkan pamor.
Ia pun menyayangkan Sekjen PBB Ban Ki Moon yang ikut turun tangan dalam masalah hukuman mati ini. Ban Ki Moon, lanjut dia, tidak sadar sikapnya membuatnya seolah lebih mengutamakan negara maju ketika berhadapan dengan negara berkembang.
"Australia atau Ban Ki Moon itu harus bercermin diri. Jangan sampai orang tidak percaya dengan apa yang negara maju ceramahkan atau PBB lakukan, karena seolah akan berat sebelah ke negara-negara maju untuk kepentingan negara maju," kata Hikmahanto.