REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Polusi udara Singapura naik pada Jumat (26/8) karena asap kebakaran di pulau Sumatra, Indonesia. Hal tersebut diungkapkan Badan Lingkungan Hidup Nasional negara tersebut (NEA).
Setiap musim kemarau, asap kebakaran muncul dari pembersihan lahan untuk kelapa sawit, perkebunan bubur kertas dan kertas di Indonesia. Kebakaran ini meningkatkan kekhawatiran terhadap kesehatan masyarakat, operator wisata dan penerbangan.
Indeks Standar Polusi Udara (PSI) yang digunakan NEA sebagai patokan, lebih dari dua kali lipat dalam 24 jam terakhir berada di angka 65-88 di Singapura. Angka di atas 100 akan dianggap tidak sehat.
NEA berharap tingkat PSI tetap di bawah 100 selama 12 jam ke depan. Jika semakin parah, kabut asap menutup bandara dan sekolah-sekolah makan pemerintah akan memberi peringatan kepada warga untuk tetap tinggal di dalam ruangan.
Sementara itu, pada hari yang sama, polusi di negara tetangga Malaysia normal. Singapura mendorong Indonesia untuk informasi perusahaan yang diduga menyebabkan polusi. Beberapa perusahaan tercatat di bursa Singapura.
Di bawah tekanan untuk mengatasi kesulitan, Indonesia berulang kali bersumpah menghentikan kebakaran. Tahun ini, Indonesia telah menangkap 454 orang terkait kebakaran.
Seorang kampanye hutan dari kelompok lingkungan Greenpeace Indonesia Yuyun Indradi mengatakan, pemerintah berjuang menegakkan hukum guna mencegah pengeringan lahan gambut untuk perkebunan. Menurutnya, hal tersbeut telah menjadi tantangan bagi pemerintah untuk memulihkan lahan gambut dan mencegah kebakaran.
"Sekarang adalah waktu bagi pemerintah untuk menjawab semua tantangan ini dalam hukum," katanya.
Greenpeace mengatakan, berdasarkan informasi satelit ada 138 titik panas di sleuruh Indonesia pada Jumat (26/8).
Ikuti Whatsapp Channel Republika
