Rabu 05 Jul 2017 16:23 WIB

Polisi Myanmar Kabur Saat Muslim Rohingya Diserang

Rep: Puti Almas/ Red: Ani Nursalikah
Polisi Myanmar patroli di sepanjang pagar perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh di Maungdaw, negara bagian Rakhine, Myanmar.
Foto: AP / Thein Zaw
Polisi Myanmar patroli di sepanjang pagar perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh di Maungdaw, negara bagian Rakhine, Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, SITTWE -- Polisi dilaporkan melarikan diri saat terjadinya serangan terhadap warga Rohingya terjadi di Rakhine. Dalam kejadian itu, satu orang tewas setelah sekelompok umat Buddha melemparkan batu.

Serangan yang dilakukan sekelompok umat Buddha itu dilakukan pada Selasa (4/7) kemarin. Menurut kepolisian, saat insiden berlangsung, ada seorang polisi junior yang bertugas. Namun, ia tidak membawa senjata dan terpaksa pergi meninggalkan lokasi kejadian.

"Kami telah menanyakan apa yang terjadi sehingga petugas polisi di tempat kejadian memilih untuk pergi. Ia telah mencoba menghentikan serangan tapi tidak memiliki kekuatan apapun, sehingga harus melarikan diri," ujar juru bicara Kementerian Dalam Negeri Myanmar, Myo Thu Soe, dikutip The Independent, Rabu (5/7).

Hingga saat ini, belum ada penangkapan yang dilakukan terkait dengan serangan terhadap warga Rohingya tersebut. Namun, Myo menegaskan penyelidikan tengah dilakukan untuk mengetahui apa yang menyebabkan insiden tersebut berlangsung.

Selama ini warga Rohingya yang menjadi salah satu etnis minoritas Myanmar kerap menjadi korban kekerasan. Lebih dari 140 ribu diantaranya yang tewas sejak terjadi konflik yang tepatnya berlangsung di Rakhine, wilayah negara bagian tempat mereka menetap.

Kekerasan yang terjadi terhadap Rohingya pertama kali terdengar pada 2012. Kemudian yang terbaru pada Oktober 2016, di mana menyebabkan sekitar 70 ribu warga etnis itu melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari operasi militer Myanmar di Rakhine.

Laporan dari komisi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB membenarkan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap warga Rohingya. Pihaknya juga menyebut kemungkinan bahwa tindakan militer untuk melakukan operasi menumpas kelompok militan hanya alasan dalam melakukan kekerasan terhadap etnis tersebut secara membabi buta.

Sejumlah bukti mengenai tindakan pasukan negara dalam melakukan pembunuhan massal terhadap warga Rohingya disebut telah didapatkan. Bahkan, PBB telah mendokumentasikan pembunuhan massal serta pemerkosaan yang dilakukan pasukan keamanan Myanmar selama operasi untuk menindak kelompok militan diantara warga Rohingya. Tindakan itu juga disebut dapat dikategorikan sebagai salah satu kejahatan kemanusiaan, yaitu pembersihan etnis.

Isu mengenai kekerasan yang dikatakan sebagai salah satu tindakan pembersihan etnis yang dilakukan Pemerintah Myanmar kembali mencuat setelah insiden penyerangan terjadi di pos keamanan Rakhine pada 9 Oktober lalu. Pemerintah Myanmar menuding adanya kelompok Rohingya yang berada di balik serangan yang terjadi di wilayah negara bagian tersebut.

Departemen Luar Negeri Myanmar membantah dengan tegas laporan komisi HAM PBB dan mengatakan bahwa pasukan militer negara tak pernah melakukan hal itu. Namun, terdapat kelompok bersenjata yang mungkin didanai oleh pihak tertentu di balik tindakan tersebut.

Demikian dengan aktivis pro demokrasi yang juga menjabat sebagai penasihat negara Aung San Suu Kyi. Ia membantah bahwa Pemerintah Myanmar telah melakukan apa yang disebut pembersihan etnis terhadap warg Rohingya.

Ia mengakui bahwa ada permusuhan yang begitu kuat di Rakhine. Bahkan terjadi pembunuhan antara sesama, yang disebut oleh Aung terjadi diantara warga Rohingya. Perempuan peraih nobel perdamaian itu menolak anggapan bahwa etnis minoritas yang rata-rata anggotanya adalah Muslim itu didiskiriminasi oleh Pemerintah Myanmar yang mayoritas beragama Budhha.

"Saya tidak berpikir ada pembersihan etnis yang terjadi dan ini istilah yang tak seharusnya digunakan. Ada banyak permusuhan, bahkan termasuk mereka membunuh sesamanya," ujar Aung.

Meski demikian, selama ini warga Rohingya tidak mendapat hak kewargangeraan di Myanmar. Mereka dianggap oleh pemerintah negara itu sebagai imigran ilegal yang berasal dari Bangladesh, meski secara sejarah etnis itu telah berada di Rakhine sejak lama dan dapat diakui sebagai penduduk resmi wilayah tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement