Ahad 03 Sep 2017 17:25 WIB

Sejarah Singkat Rohingya di Myanmar

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Qommarria Rostanti
Bocah pengungsi Rohingya melintasi rawa dalam upayanya mengungsi ke wilayah Bangladesh.
Foto: Mohammad Ponir Hossain/Reuters
Bocah pengungsi Rohingya melintasi rawa dalam upayanya mengungsi ke wilayah Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak awal 1950-an, sebagian kaum Muslim di bagian Arakan atau Rakhine mengklaim diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis yang berbeda dan terpisah. Mereka mengidentifikasikan diri sebagai Rohingya.

Mereka mengklaim, Rohingya sudah ada di Rakhine atau Bruma sejak generasi terdahulu. Namun, klaim tersebut tidak berhasil. Mereka tidak mendapatkan pengakuan dari Myanmar dan keberadaannya diperdebatkan oleh kaum Buddha yang merupakan mayoritas di negara tersebut. Begitulah penjelasan singkat soal Rohingya menurut Jacques P Leider dalam tulisannya bertajuk Rohingnya: The Name, The Movement, and The Quest for Identity

Presiden Arakan Rohingya National Organisation (ARNO), Nurul Islam, mengatakan Rohingya telah tinggal sejak dahulu kala. Mereka merupakan orang-orang dengan budaya dan peradaban yang berbeda-beda. Jika ditelusuri, nenek moyang merka berasal dari orang Arab, Moor, Pathan, Moghul, Bengali, dan beberapa orang Indo-Mongoloid. Permukiman Muslim di Arakan telah ada sejak abad ke-7 Masehi.

Rohingya tidak dianggap ke dalam 135 etnis resmi negara tersebut. Mereka juga telah ditolak kewarganegaraannya di Myanmar sejak 1982, yang secara efektif membuat mereka tanpa kewarganegaraan di tempat tinggalnya. 

Sejak1948, tahun kemerdekaan Myanmar, sudah ada sekitar 1,5 juta orang Rohingnya yang meninggalkan tempat tinggalnya. Para pengungsi Rohingya kebanyakan ditemukan di Bangladesh, Pakistan, Arab Saudi, Thailand, dan Malaysia.

Pada tahun itu, ketegangan antara pemerintah Bruma, yang saat ini dikenal sebagai Myanmar, dan Rohingya meningkat. Banyak di antara mereka yang menginginkan Arakan untuk bergabung dengan Pakistan yang mayoritas Muslim. Pemerintah kemudian membalas dengan mengucilkan Rohingya, termasuk menyingkirkan mereka dari posisi pegawai negeri. Pada 1950, beberapa orang Rohignya menolak pemerintah. Pada 1962, Jenderal Ne Win dengan Partai Program Sosialis Burma-nya merebut kekuasaan dan mengambil langkah perlawanan keras terhadap Rohingnya.

Sekitar 15 tahun berselang, pemerintah memulai Operasi Nagamin. Operasi itu ditujukan untuk menyaring penduduk dari orang asing. Lebih dari 200 ribu orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, di tengah tuduhan pelanggaran yang dilakukan oleh para tentara. Meski mereka membantah melakukan kesalahan. Setahun berikutnya, Bangladesh melakukan kesepakatan dengan Burma di mana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai perantaranya. Mereka bersepakat melakukan repatriasi pengungsi dan kala itu sebagian besar orang Rohingnya kembali ke Burma.

Namun pada 1982 Undang-Undang Imigrasi baru yang diberlakukan di sana mendefinisikan orang-orang yang bermigrasi selama pemerintahan Inggris sebagai imigran ilegal. Pemerintah Burma pun menggolongkan orang-orang Rohingya ke dalam golongan tersebut.

Lebih dari 250 ribu pengungsi Rohingya melarikan diri dari apa yang mereka sebut sebagai kerja paksa, pemerkosaan, dan penganiayaan agama oleh tentara Myanmar. Para tentara itu menyebutkan, pihaknya sedang berusaha untuk membawa pesanan ke Rakhine. Kejadian ini terjadi 2 tahun setelah Burma diubah menjadi Myanmar.

Dari 1992 hingga 1997, melalui perjanjian repatriasi lainnya, sekitar 230 ribu orang Rohingya kembali ke Rakhine. Pada 2012, terjadi kerusuhan antara Rohingya dengan kaum Budha di Rakhine yang menewaskan lebih dari 100 orang. Dari jumlah itu, lebih banyak orang Rohingya yang menjadi korbannya. Puluhan ribu orang dibawa ke Bangladesh dan hampir 150 ribu orang dipaksa masuk ke kamp-kamp di Rakhine.

Berbagai Sumber

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement