REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Ribuan dokumen dari Kedutaan Besar AS di Jakarta pada 1963-1966 dibuka ke publik, Selasa (17/10). Dalam dokumen itu terungkap, AS mengetahui gerakan anti-Komunis di Indonesia.
Seperti dikutip BBC, AS tahu ada pergerakan orang-orang untuk melakukan pembunuhan dalam gejolak politik tersebut.
Sedikitnya 500 ribu orang tewas antara 1965-1966 menyusul gerakan pembersihan yang disebut dokumen melibatkan militer. BBC yang mengutip dokumen juga menyebut keterlibatan milisi Muslim dalam gerakan melawan Komunis.
Dalam dokumen staf AS menggambarkannya sebagai 'pembantaian' dan pembunuhan 'tanpa pandang bulu'. Hal itu menunjukkan, AS telah mengerti adanya operasi untuk melakukan pembersihan terhadap Partai Komunis dan kelompok kiri.
Menurut staf Kedutaan Besar AS di Jawa Timur yang tercatat pada 28 Desember 1965, 'korban' dibawa dari permukiman sebelum akhirnya dibunuh. Jasad korban dikubur daripada dibuang ke sungai. Telegram staf AS juga mengatakan, tahanan-tahanan yang ditengarai komunis dilepaskan ke warga sipil untuk dibunuh.
Dokumen lain yang dikompilasi sekretaris pertama Kedutaan AS tercatat pada 17 Desember 1965 juga mencatat detil daftar pemimpin komunis di seluruh Indonesia, apakah mereka dibunuh atau ditangkap.
Pada Desember 1965, kabel konsulat AS di Medan di Sumatra mengatakan, keterlibatan pendakwah Muhammadiyah dalam memprovokasi warga menghakimi tersangka komunis. Bunyi telegram lain menunjukkan keterlibatan barisan pemuda NU dalam pembunuhan orang-orang yang ternyata bukan anggota Komunis. Pembunuhan lebih dikarenakan oleh persoalan pribadi.
Tragedi 1965-1966 tak terlepas dari persaingan politik di dunia antara AS dengan Soviet dan Cina. Seperti dikutip the Guardian, pada 1965 Indonesia memiliki partai komunis terbesar setelah Cina dan Uni Soviet dengan pengikut yang mencapai jutaan orang.
Keluarga korban dari pembantaian 1965-1966 menuntut pemerintah meminta maaf. Namun hal itu memicu kontroversi. Beragam ormas Muslim menolak permintaan itu, mengingat kekejaman yang dilakukan oleh PKI dari mulai pemberontakan 1948.
Brad Simpson, direktur Indonesia and East Timor Documentation adalah pihak yang meminta agar dokumen-dokumen tentang peristiwa 1965-1966 dibuka. "Dokumen ini menunjukkan bagaimana pejabat AS mengetahui tentang banyaknya orang yang dibunuh," ujarnya. Sikap AS saat itu, adalah diam.