Jumat 20 Oct 2017 08:13 WIB

Ketika Google dan Facebook Jualan 'Negara Islam'

Facebook (ilustrasi)
Foto: AP
Facebook (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Kamran Dikarma

Google dan Facebook merupakan dua platform media digital yang menguasai dunia saat ini. Jutaan orang mengakses laman keduanya setiap hari, bahkan setiap detik. Tak mengherankan bila banyak pihak yang berhasrat untuk bisa memanfaatkan Facebook dan Google sebagai sarana mempromosikan, mengiklankan, atau mengampanyekan sesuatu, termasuk ide atau gagasan politik.

Dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) 2016 lalu, misalnya, Facebook dan Google ternyata tidak berdiri di zona netral atau bebas dari persaingan politik. Kedua raksasa media digital ini ternyata gencar menayangkan dua video pariwisata palsu yang kontroversial guna memengaruhi pilihan politik penggunanya. Iklan tersebut bertajuk "Pesan Perjalanan Anda ke Negara Islam Prancis".

Dalam iklan itu ditayangkan seakan Prancis memberlakukan syariat Islam. Menara Eiffel yang ikonik ditampilkan dengan bulan sabit dan bintang bertengger di pucuknya. Lukisan legendaris karya Leonardo Da Vinci, yakni Mona Lisa, digambarkan mengenakan burka di wajahnya.

"Berdasarkan hukum syariat, Anda dapat menikmati semua yang ditawarkan negara Islam Prancis, selama Anda mengikuti peraturan," kata narator dalam tayangan iklan tersebut, dikutip laman Engadget.

Iklan ini terus ditayangkan selama berpekan-pekan menjelang waktu Pemilihan Presiden AS. Iklan ini secara khusus menargetkan pengguna Facebook dan Google yang berdomisili di Nevada dan North Carolina, AS. Iklan ini menjadi bukti bahwa Facebook dan Google terlibat dalam sebuah kampanye politik di AS.

Iklan menjelang Pemilihan Presiden AS disponsori oleh kelompok Secure America Now (SAN). Mereka adalah kelompok advokasi konservatif dan nirlaba yang kampanyenya mencakup anti-Hillary Clinton dan anti-Islam. SAN didirikan 2011 untuk menentang pembangunan pusat komunitas Muslim dan masjid di Manhattan, dekat lokasi serangan World Trade Center pada 11 September 2001.  

Menurut laporan internal dari biro iklan yang mengeksekusi kampanye SAN, seperti dikutip laman Bloomberg, para karyawan di Google dan Facebook terlibat langsung dalam proyek ini. Para karyawan di kedua perusahaan membantu menargetkan agar iklan milik SAN itu menjangkau sasaran khalayak yang tepat. Dana yang dikucurkan untuk menggarap dan menayangkan iklan rasis ini mencapai jutaan dolar AS.

Salah satu pekerja di Harris Media, perusahaan yang menggarap kampanye SAN mengaku tak nyaman dengan konten-konten yang dimunculkan. "(Kampanye) Ini dirancang untuk memicu ketakutan di hati orang-orang," katanya.

Tak hanya di AS, kampanye politik melalui Facebook terjadi pula di Jerman. Awal tahun ini, misalnya, Facebook menjalin kerja sama dengan partai Alternative for Germany (AfD) yang berhaluan kanan dan memiliki sikap antiimigran.

Iklan ini pun digarap oleh Harris Media. Dalam pertemuan di kantor Facebook, Berlin, para eksekutif mendorong AfD dan Harris Media untuk memanfaatkan fitur Facebook Live di samping belanja iklannya untuk lebih menargetkan pemilih di Jerman.

Profesor pemasaran dari University of Maryland Robert H Smith School of Business Wendy Moe berpendapat, keputusan Google untuk bekerja sama dengan kelompok politik tampaknya dilakukan untuk menguji strategi periklanan mereka.

"Ini membantu mereka mengasah rencananya dan mencari tahu cara terbaik untuk menyasar khalayak yang diinginkan," kata Moe.

Juru bicara Google pun telah angkat bicara menanggapi isu ini. "Kami memiliki kebijakan ketat yang mengatur ke mana kami mengizinkan iklan Google muncul dan kami menerapkan kebijakan ini dengan penuh semangat. Bila kami menemukan iklan yang melanggar kebijakan ini, kami segera menolak dan berhenti menampilkannya," katanya.

Hingga berita ini ditulis, Facebook belum memberikan komentar terkait keterlibatannya dalam kampanye politik, baik di AS maupun Jerman.

(Editor: Yeyen Rostiyani).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement