Ahad 22 Oct 2017 03:56 WIB

Krisis Rohingya, Pengamat: Myanmar Alami Rohingyafobia

Rep: Kabul Astuti/ Red: Andri Saubani
 Tentara Bangladesh menghadang masuk pengungsi muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar di Palong Khali, Bangladesh, Selasa (17/10).
Foto: AP/Dar Yasin
Tentara Bangladesh menghadang masuk pengungsi muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar di Palong Khali, Bangladesh, Selasa (17/10).

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Seorang sejarawan Perancis terkemuka mengatakan konflik yang bergolak di negara bagian Rakhine, Myanmar lebih disebabkan oleh Rohingyafobia ketimbang Islamofobia. Sejak 25 Agustus lalu, sekitar 589 ribu orang Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh. Para pengungsi melarikan diri dari operasi militer oleh pasukan keamanan dan kelompok Buddha.

Mereka membunuh pria, wanita, dan anak-anak, menjarah rumah, dan membakar desa warga etnis Rohingya. "Ini lebih tentang Rohingyafobia daripada Islamofobia. Meskipun terjadi kekerasan pada pekan-pekan terakhir, tidak ada kerusuhan di seluruh provinsi dan tidan ada serangan balas dendam di negara manapun," kata Jacques Leider dari French Institute of Asian Studies, dilansir dari Anadolu Agency, Sabtu (21/10).

Leider mengatakan, kejadian ini menunjukkan bahwa persepsi polarisasi sudah lebih tertanam kuat, mengalahkan kebutuhan akan perdamaian komunal. Ia menyoroti latar belakang konflik ini yang menurutnya kerap terlupakan.

Sejarawan Perancis ini menyalahkan sebagian besar media internasional yang tidak tertarik pada kompleksitas historis dari masalah ini, lalu hanya membahas situasi kemanusiaan yang terjadi di Rohingya. Menurutnya, konflik ini berawal dari kesenjangan demografi.

"Kesenjangan demografi antara komunitas Muslim yang berkembang pesat dan komunitas Rakhine Buddhis diabaikan sebagai pendorong ketegangan selama beberapa dekade terakhir," kata dia.

Secara internasional, menurut Leider, Myanmar dipandang berusaha mempertahankan sesuatu yang tidak dapat diperdebatkan karena menyangkut pelanggaran HAM. Secara internal, komunitas Buddhis merasa terancam oleh aliansi global negara dan organisasi Muslim.

Leider melihat ada marginalisasi secara sistematis terhadap Muslim Rohingya, seperti pada era 1070-an. Hilangnya hak kewarganegaraan hanya satu aspek. Sejak merdeka pada 1948, ia mencatat telah ada usaha untuk membuat hubungan Buddha dan Muslim menjadi tegang.

Karena kompleksitas historis itu kurang dipahami, lanjut dia, Myanmar merasa disalahpahami dan Rohingya selalu kekurangan dukungan dari dalam negeri. Media internasional disebutnya mencerminkan konflik ini sebagai isu biner yang disederhanakan. Yakni, negara Buddha rasis terhadap Muslim yang tidak berdaya. "Namun ini hanya satu aspek dari realitas politik yang kompleks," kata dia.

Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang-orang yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi ketakutan atas serangan tersebut sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada 2012. PBB mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan bayi dan anak kecil, pemukulan brutal, penganiayaan, serta penghilangan orang yang dilakukan oleh petugas keamanan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement