Selasa 28 Nov 2017 19:29 WIB

Paus tak Sebut Rohingya Saat Berpidato di Myanmar

Rep: Marniati/ Red: Ani Nursalikah
Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi menyimak pidato Paus Francis di International Convention Centre di Naypyitaw, Myanmar, Selasa (28/11).
Foto: AP Photo/Andrew Medichini
Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi menyimak pidato Paus Francis di International Convention Centre di Naypyitaw, Myanmar, Selasa (28/11).

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Paus Fransiskus telah menyampaikan pidato utamanya di Myanmar. Dalam pidatonya, Paus menuntut penghormatan terhadap setiap kelompok etnis namun tanpa merujuk secara khusus kepada komunitas Muslim Rohingya.

Dilansir di BBC, Selasa (28/11), Kelompok hak asasi telah mendesak Paus untuk menggunakan istilah tersebut sebagai bentuk dukungan. Namun, Gereja Katolik di negara tersebut telah memberitahu Paus istilah tersebut dapat menyebabkan kesulitan bagi umat Katolik di Myanmar.

Myanmar telah dituduh melakukan pembersihan etnis, dengan 620 ribu orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak Agustus. Pemerintah Myanmar menolak istilah Rohingya. Mereka menyebut Rohingya orang Bengali yang bermigrasi secara ilegal dari Bangladesh sehingga tidak terdaftar sebagai salah satu kelompok etnis di negara tersebut.

Meskipun pidato Paus tidak mengacu langsung pada Rohingya, namun apa yang ia sampaikan adalah bentuk pembelaan yang kuat terhadap hak-hak etnik.

"Masa depan Myanmar harus damai, damai berdasarkan penghormatan terhadap martabat dan hak setiap anggota masyarakat, menghormati setiap kelompok etnis dan identitasnya, menghormati peraturan undang-undang, dan menghormati tatanan demokrasi. yang memungkinkan setiap individu dan setiap kelompok - tidak ada yang dikecualikan - untuk menawarkan kontribusi yang sah untuk kebaikan bersama," katanya.

Paus Francis mengatakan harta karun terbesar Myanmar adalah rakyatnya. Rakyat akan sangat menderita dengan konflik sipil dan permusuhan yang telah berlangsung lama dan menciptakan perpecahan.

"Seiring bangsa sekarang berupaya memulihkan perdamaian, penyembuhan luka-luka itu harus menjadi prioritas politis dan spiritual yang terpenting," tambahnya.

Menurutnya, perbedaan agama tidak perlu menjadi sumber perpecahan dan ketidakpercayaan, melainkan kekuatan untuk persatuan, toleransi dan pembangunan bangsa. Dalam sebuah pertemuan sebelumnya di Yangon dengan para pemimpin agama Buddha, Islam, Hindu, Yahudi dan Kristen, Paus juga tidak merujuk langsung ke Rohingya.

Sebelum pidatonya, Paus Francis bertemu dengan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi. Dalam sambutannya, Suu Kyi juga tidak membuat referensi langsung ke Muslim Rohingya. Namun, dia menerima situasi di negara bagian Rakhine menarik perhatian dunia.

Dia mengatakan isu sosial, ekonomi dan politik telah mengikis kepercayaan dan pemahaman, harmoni dan kerja sama antara berbagai komunitas di Rakhine. Suu Kyi telah dikritik karena kurangnya tindakan atas masalah ini. Pada Senin, Oxford mencabut penghargaannya untuk Suu Kyi. Para anggota dewan Oxford mengatakan mereka tidak lagi ingin menghormati orang-orang yang menutup mata terhadap kekerasan.

Myanmar telah menolak tuduhan PBB bahwa perlakuan terhadap komunitas Muslim sebagai bentuk pembersihan etnis. Dikatakan tindakan keras di negara bagian Rakhine, yang dimulai setelah serangan mematikan terhadap pos polisi oleh militan Rohingya adalah untuk membasmi gerilyawan dengan kekerasan.

Umat Katolik berjumlah satu persen dari 53 juta populasi Myanmar. Buddha adalah agama mayoritas dengan sekitar 88 persen.

Sekitar 90 persen umat Katolik di negara ini berasal dari etnis minoritas Karen, Kachin, Chin, Shan dan Kaw. Sensus selama 40 tahun terakhir menunjukkan agama Kristen adalah kelompok agama yang paling cepat berkembang

Surat Aktivis Rohingya untuk Paus Francis

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement