Rabu 27 Dec 2017 00:35 WIB

Pengungsi Rohingya tak Percayai Janji Myanmar

Pengungsi Rohingya di Bangladesh.
Foto: EPA-EFE/TRACEY NEARMY
Pengungsi Rohingya di Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Bangladesh dan Myanmar pada 23 November 2017 menyepakati pemulangan atau reptariasi pengungsi Rohingya, untuk segera memulai proses pemulangan warga Rohingnya yang melarikan diri ke Bangladesh.

Menyusul tekanan internasional, Myanmar sepakat akan memulihkan situasi di negara bagian Rakhine bagian utara dan mendorong pengungsi Rohingya kembali dengan sukarela dan selamat ke rumah mereka masing-masing.

Ironisnya, Myanmar mengajukan syarat. Mereka hanya mau menerima pengungsi Rohingya jika mereka memiliki bukti-bukti pernah tinggal di negara itu.

Nyatanya, sebagian besar warga Rohingya kesulitan mendapatkan surat identitas di Myanmar karena sejak puluhan tahun silam diabaikan dan dicampakkan pemerintahnya sendiri.

"Saya tidak percaya pemerintah Myanmar karena ini sudah menjadi sejarah yang panjang tentang kebohongan mereka, sejak Myanmar mendapat kemerdekaan pada tahun 1947," kata Humidor kepada Antara di Cox's Bazar, Banglaesh, Senin (25/12).

Humidor adalah pengungsi Rohingya yang mendapatkan gelar sarjana dari ilmu Islam dan Alquran, serta sempat mengambil kursus pendek jurnalistik. Selama ini ia aktif menyuarakan nasib etnis Rohingya lewat blog.

"Menurut saya, repatriasi bukan hal yang tepat saat ini untuk kami, terutama setelah puncak kekerasan yang mereka lakukan terhadap etnis Rohingya tahun ini. Myanmar belum menyiapkan apa-apa, sementara pengungsi sudah tidak memiliki apa-apa. Apa fasilitas yang akan mereka berikan? Apakah lahan dan properti warga Rohingya akan diberikan kembali ke mereka? Ini belum selesai," kata Humidor.

Ia mengatakan saat ini pengungsi Rohingya hidup dalam kondisi memprihatinkan meskipun ditampung dalam pengungsian.

"Mereka hanya bisa bertahan hidup saja. Ini lah kenapa saya bilang belum saatnya pemulangan pengungsi sekarang. Karena saya pesimistis pemerintah Myanmar dapat memberikan hak-hak kami, fasilitas, dan memberikan optimisme kepada kami," ujar pria berusia 30 tahun itu.

Kamp pengungsian, kata Humidor, juga bukan tempat yang lebih baik untuk orang-orang Rohingya. Tetapi untuk kembali ke Myanmar tanpa jaminan pemenuhan hak dan martabat etnis Rohingya tidak akan memberikan hidup yang lebih baik bagi etnis Rohingya.

Ia berharap organisasi internasional terus mendesak pemerintah Bangladesh dan Myanmar untuk memberikan jaminan yang kuat bahwa pengungsi Rohingya bisa kembali ke Myanmar bersama hak-hak dan martabat mereka.

"Meskipun di pengungsian kalian memberikan mereka makanan sampai bangunan besar, mereka tidak merasakan seperti di rumah. Mereka semua berharap bisa kembali ke negara mereka tetapi dengan hak-hak dan martabat yang utuh," kata Humidor.

PBB menyebut arus pengungsi Rohingya paling cepat berkembang di dunia dan sekaligus mimpi buruk kemanusiaan dan hak asasi manusia. PBB juga mengatakan Rohingya sebagai etnis yang paling menderita dan paling ditindas.

Tinggal di pengungsian dengan status tanpa kewarganegaraan tidak menjamin masa depan mereka yang lebih cerah, sementara hidup mereka masih panjang.

"Mereka butuh nutrisi, jaminan kesehatan yang baik, madrasah (sekolah) yang baik untuk membentuk mereka," tambahnya.

Humidor tidak asal omong karena apa yang dikatakannya itu tepat dirasakan oleh anak-anak Rohingya meski mereka belum mengerti apa yang telah terjadi pada mereka. Di antara anak-anak Rohingya yang dicabut paksa dari akar dan hak paling asasinya itu adalah Tosmin.

Usia Tosmin masih empat tahun, tetapi ia sudah tidak berayah, tidak beribu. Ibunya meninggal dunia sejak usianya masih satu tahun, sementara ayahnya dibunuh di suatu tempat di Myanmar. Tosmin dibawa neneknya, Mobina, melarikan diri ke Bangladesh.

"Saya tidak tahu rencana ke depan bagaimana untuk dia. Saya hanya memberikan dia makan saja," kata Mobina.

Tosmin tidak sendiri. Dari 650.000 warga Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh, separuhnya adalah anak-anak. Dan sekitar 14.000 dari mereka, yatim piatu.

"Anak-anak Rohingya mungkin masih bisa tertawa dan bermain, tetapi mereka sebenarnya menderita. Semoga pengungsi Rohingya bisa kembali ke Myanmar dengan hak dan martabat yang utuh," harap Humidor.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement