REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Palestina boleh jadi merupakan negara yang terisolasi akibat blokade Israel. Namun, itu tidak berarti penduduk setempat tak bisa "menerabas" blokade tersebut. Mereka dapat saja dengan mudah "keluar" pengepungan itu, melalui buku. "Kebebasan itu hanya soal konsep pemikiran. Dengan buku Anda bisa terbebas dan tinggal dalam dunia imajinasi tanpa batas," kata cendekiawan Palestina, Abu Toha seperti dilansir Al Jazeera, Jumat (10/3).
Kegemarannya terhadap buku, apalagi literasi dari Inggris, membuat Abu Toha banyak memiliki koleksi buku dalam apartemennya di Beit Lahia. Buku-buku tersebut didapatkan dari kiriman sejumlah temannya dari seberang laut. Dengan menggali tulisan Tolstoy, Dostoyevsky, Chekhov, Paine, Orwell, Hemingway, Huxley, Finkelstein, dan Chomsky, Abu bisa keluar dari perbatasan Gaza. Terlebih ketika dirinya menghabiskan waktu untuk menciptakan puisi dan literasi lainnya.
Kecintaannya terhadap literasi Inggris menggerakkan Abu Toha untuk membuka perpustakaan pertama di Gaza khusus untuk literasi Inggris. Di sana, masyarakat bisa datang untuk membaca, bersosialisasi, atau sebatas menonton televisi. Dalam perpustakaan itu juga tersedia sebuah ruangan yang dia berharap kelak kedatangan tamu internasional yang siap memberikan pelajaran.
Saat ini, perpustakaan Abu sudah menyimpan lebih dari 100 buku. "Buku merupakan hal yang penting karena kita bisa belajar kebudayaan dan menggali cara orang berpikir, berkomunikasi, dan memahami mereka," katanya.
Perpustakaan yang didirikan Abu Toha sedikit banyak membantu pengetahuan masyarakat. Berdasarkan data riset tahun lalu oleh museum Palestina, sebanyak 41 perpustakaan ada di Gaza. Namun, 21 dari puluhan fasilitas itu ditutup dan tujuh lainnya hancur akibat serangan Israel pada 2014. Perpusatakaan Shujayea Club kehilangan 6,000 koleksi buku selama peperangan.
Sementara itu, sekitar 10.000 buku milik perpstakaan Beit Hanoun di timur laut Gaza hancur akibat perang. Sedangkan buku milik perpusatakaan yang kini masih beroperasi mayoritas sudah usang dan hanya buka hingga pukul tiga sore.
Perpustakaan yang ada di universitas pun mengalami kesulitan untuk mendapatkan tambahan buku untuk mahasiswa mereka. Universitas Islam Gaza sudah tidak bisa mengimpor buku sejak 2013. "Selama 10 tahun kami mencari buku ke Kairo, tapi dalam lima tahun terakhir kami tidak bisa pergi karena alasan situasi dan hubungan buruk anara Hamas dan rezim Mesir," kata Direktur Purpusatakaan Universitas, Mamdouh Firwana.