Selasa 19 Sep 2017 18:10 WIB

Limbah Permukiman Israel Menumpuk di Wilayah Palestina

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Agus Yulianto
Seorang gadis Palestina mencoba meninju seorang tentara Israel saat unjuk rasa memprotes perluasan permukiman Yahudi di desa Halamish, dekat Ramallah, Jumat (2/11).
Foto: AP/ Majdi Mohammed
Seorang gadis Palestina mencoba meninju seorang tentara Israel saat unjuk rasa memprotes perluasan permukiman Yahudi di desa Halamish, dekat Ramallah, Jumat (2/11).

REPUBLIKA.CO.ID, Jamal Hammad teringat, mata air al-Matwa di kota Salfit selalu menjadi tujuan wisata populer bagi penduduk setempat. Beberapa dekade yang lalu, daerah ini sering dipenuhi warga Palestina yang hendak mendaki di lembah atau berpose bersama dengan arus mata air yang mengalir.

Namun sekarang, mata air al-Matwa telah dicemari oleh limbah yang menyebabkan bau menyengat. Nyamuk yang mengerumuni daerah tersebut membuat lembah semakin sepi tanpa pengunjung.

"Semua limbah ini berasal dari pemukiman Israel, kebanyakan dari pemukiman Ariel. Kami sangat khawatir tentang dampak jangka panjang polusi yang akan terjadi pada masa depan kita." ujar Hammad, kepada Aljazirah.

Isu pengelolaan sampah telah berlangsung selama beberapa dekade di Tepi Barat yang diduduki. Tahun lalu, sekitar 83 juta meter kubik air limbah mengalir di sepanjang Tepi Barat yang diduduki. Knesset Research Institute mengungkapkan, sekitar 19 juta meter kubik dari limbah itu berasal dari pemukiman Israel yang dibangun di wilayah Palestina yang melanggar hukum internasional.

Peneliti di LSM Israel Bimkom, Alon Cohen-Lifshitz, mengatakan, banyak pemukiman Israel tidak memiliki fasilitas pengolahan limbah yang tepat. Sekitar 12 persen dari sampah pemukiman menyusup ke sungai dekat masyarakat Palestina.

"Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa Israel telah mengakui tanah yang tidak digarap di Tepi Barat, yang biasanya berada di puncak bukit, sebagai 'tanah negara' mereka, saat wilayah tersebut diambil alih oleh militer Israel pada 1967," ujar Lifshitz.

Masyarakat Palestina sangat terpengaruh oleh sampah yang diproduksi oleh pemukim Israel. Hal ini karena banyak desa mereka yang terpaksa pindah ke lahan pertanian yang lebih rendah setelah pendudukan Israel atas wilayah Palestina.

"Oleh karena itu, masalah limbah adalah efek samping dari matriks kontrol Israel di Tepi Barat," tambah Lifshitz.

Dalam kasus Salfit, pabrik pengolahan sampah di pemukiman Ariel, Ariel West, dan Barkan, selalu rusak dan meluap. Kerusakan ini menyebabkan banjir limbah yang menerjang mata air al-Matwa, sehingga memperburuk masalah sampah yang sudah ada di tengah masyarakat Palestina.

Dewan lokal Salfit terpaksa membangun tembok setinggi empat meter di sepanjang mata air al-Matwa. Tembok tersebut dibuat untuk melindungi stasiun pemompaan air pusat kota dari banjir air limbah.

Sampai beberapa tahun yang lalu, limbah lokal Palestina di Kota Salfit juga berkontribusi terhadap pencemaran mata air. Namun, pemerintah Kota Salfit telah membangun sistem pembuangan limbah bawah tanah untuk mengangkut sampah lokal dari daerah tersebut dan membuangnya ke lembah.

"Saya ingat dulu kita bisa bertani di daerah ini, bahkan tanpa menggunakan pestisida. Kalau kita tidak menggunakan pestisida untuk menangkal serangga dan nyamuk di daerah itu, hasil panen kita tidak akan bertahan," ujar  Hammad.

Bahkan setelah menggunakan pestisida pada tanaman, Hammad mengatakan kualitas dan kuantitas buah dan sayurannya tetap berkurang sejak limbah mulai mempengaruhi pertanian. Banyak warga Palestina yang juga berhenti mengonsumsi produk lokal, karena khawatir telah terkontaminasi air limbah.

Di seberang jalan dari pertanian Hammad, penduduk lokal lainnya, Hammad Azazma, duduk di atas sebuah selimut di luar bangunan kecilnya yang terletak tepat di samping mata air al-Matwa. Dia mengatakan, domba-dombanya meninggal setiap tahun karena meminum air yang tercemar.

"Anak-anak saya sering sakit, mereka menderita demam dan mengalami ruam kulit. Bahkan jika Anda tidak minum air, bakteri tetap terbawa oleh serangga. Dan baunya membuat kita tetap terjaga di malam hari," ujar Azazma.

Laporan LSM Israel B'Tselem mencatat, polusi telah menyebabkan kepunahan beberapa spesies lokal yang pernah menghuni daerah tersebut, termasuk rusa, kelinci, dan rubah. Ikan sekarang menjadi satu-satunya hewan yang tersisa di sana.

Hammad dan Azazma mengungkapkan rasa takut akan efek jangka panjang terhadap tanah mereka. "Tapi tidak ada yang peduli dengan kami. Situasi ini akan menjadi lebih buruk dan lebih buruk lagi, dan tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi pada penduduk di sini," kata Hammad.

Namun pemukim Israel sebagian besar tidak terpengaruh oleh polusi selama beberapa dekade terakhir. Semua pemukiman terhubung dengan pasokan air Israel dan limbah mereka biasanya dialihkan ke masyarakat Palestina.

Sementara itu, sejak 1980-an, desa Wadi Abu Hindi juga telah terpengaruh oleh tempat pembuangan akhir (TPA) dari pemukiman Israel. Desa Bedouin ini terletak di lembah antara pemukiman Maale Adumim dan Qedar di dekat kota al-Eizariya, sebelah timur Yerusalem.

TPA Abu Dis adalah TPA terbesar di Tepi Barat yang diduduki. TPA ini telah menimbulkan malapetaka atas kehidupan masyarakat Bedouin di Yerusalem selama beberapa dekade. Sekitar dua tahun yang lalu Israel menutup TPA ini, walaupun sebenarnya TPA masih digunakan secara berkala hingga menyebabkan tumpukan sampah yang besar.

Khalil Hammad, seorang penduduk desa Wadi Abu Hindi, mengatakan masyarakat Bedouin di sana terus menghadapi masalah yang sama, meski dalam tingkat yang lebih rendah. TPA telah membuat kehidupan penduduk Palestina menjadi menyedihkan.

Dia mengatakan, sampai beberapa tahun yang lalu desa itu telah ditutupi tumpukan kantong plastik. Sekitar 200 domba mati setiap tahunnya karena tersedak plastik atau minum dari kolam limbah.

"Isu terburuk adalah bau bahan kimia yang konstan. Di malam hari para penduduk terkadang melihat api di dekat tempat pembuangan sampah karena adanya konsentrasi metana yang besar di kolam sampah," kata Khalil. Ia sendiri pernah beberapa kali dirawat karena penyakit pernafasan yang disebabkan polusi sampah.

Masyarakat Bedouin di desa al-Jabel di dekatnya telah dipindahkan secara paksa ke TPA setelah Israel menghancurkan rumah mereka dan mengusir mereka dari daerah pedesaan dekat pemukiman Maale Adumim pada 1990-an. Insiden ini terjadi selama Israel melakukan perluasan pemukiman.

Menurut Lifshitz, Israel sekarang memiliki rencana baru untuk masyarakat Palestina demi memperluas pemukiman. Israel berencana memindahkan penduduk secara paksa ke TPA Abu Dis. Rencana relokasi tersebut diperkirakan akan mempengaruhi sekitar 20 komunitas Bedouin.

Lifshitz mengatakan, pada Mei tahun ini, sebuah komite resmi Israel membahas cara-cara untuk mengosongkan daerah tersebut dan mempersiapkan pemindahan penduduk. Rencana yang paling tepat adalah dengan menyebarkan sampah ke sisi lain lembah untuk menyaring sampah dan tanah.

Khalil mengatakan masyarakat Wadi Abu Hindi juga telah didekati oleh pemerintah sipil Israel terkait memindahkan penduduk ke TPA. "Mereka memberitahu kami, mereka akan membuang lebih banyak sampah, dan itu akan menjadi tempat yang menyenangkan bagi kami untuk hidup di masa depan," katanya.

Selain ketakutan akan penggusuran paksa dari Wadi Abu Hindi ke TPA, penduduk juga harus berhadapan dengan warga Israel dari pemukiman Qedar yang melepaskan kolam limbah mereka ke lembah tempat masyarakat Bedouin berada.

"Mereka melakukan ini setiap beberapa hari sekali. Kami berusaha mencegah agar domba-domba kami tidak meminum air, tapi kami tidak bisa menghentikannya. Klorin membuat mereka sakit, dan terkadang mereka mati karenanya," tambah Khalil.

Menurut Khalil, pemukim yang melepaskan sampah ke masyarakat Palestina adalah satu taktik Israel untuk memaksa mereka keluar dari daerah tersebut. "Tapi kami tidak akan pergi. Kami sudah terlantar sekali, dan kami tidak akan dipindahkan lagi," ungkap Khalil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement