Kamis 07 Dec 2017 03:10 WIB

Kebijakan Trump Soal Yerusalem akan Rusak Perdamaian

Rep: Muhyiddin / Red: Reiny Dwinanda
Donald Trump
Foto: AP
Donald Trump

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Timur Tengah, Yon Mahmudi, menilai sikap Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel akan merusak perdamaian di Timur Tengah.

"Dengan pengakuan ini maka dapat dipastikan proses perdamaian di Timur Tengah akan rusak," ujar Yon saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (6/12).

Yon mengungkapkan, sikap Trump tersebut juga menunjukkan perbedaannya dengan mantan Presiden AS sebelumnya, Barack Obama. 

Menurut dia, dalam mengambil kebijakan, Trump tidak mengedepankan dialog konstruktif.

"Ini perbedaan mendasar antara Trump dan pendahulunya. Obama dan presiden-presiden AS sebelumnya masih mengedepankan dialog konstruktif dalam membangun perdamaian di Timur Tengah," ucapnya.

Yon mengatakan, Trump juga cenderung sepihak dalam memutuskan suatu kebijakan yang akan diambil. Bahkan, Trump lebih memikirkan kepetingannya dengan Israel. 

"Dia cenderung sepihak dalam memutuskan kebijakan. Tidak peduli dengan kondisi kawasan. Dia lebih memikirkan kepentingan mitra setianya di Timur Tengah, yaitu Israel," kata Yon.

Ibu Kota Israel dalam pidato publiknya di Gedung Putih pada Rabu (6/12) waktu setempat." href="http://www.republika.co.id/berita/internasional/palestina-israel/17/12/07/p0k0kc414-trump-segera-memulai-proses-perpindahan-kedubes-ke-yerusalem" target="_blank">Trump telah mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dalam pidato publiknya di Gedung Putih pada Rabu (6/12) waktu setempat.

Trump juga menginstruksikan Departemen Luar Negeri AS untuk mulai merancang perencanaan dimulainya proses pemindahan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Langkah kontroversial Trump ini merupakan perwujudan janji kampanye juga menindaklanjuti keputusan Kongres AS tahun 1995 yang meloloskan undang-undang yang mengatur kebijakan AS untuk memindahkan Kedubes ke Yerusalem. 

Sejak tahun 1995, para Presiden AS terdahulu selalu menandatangani 'surat pernyataan' untuk menunda penerapan undang-undang itu. Namun, tidak demikian halnya dengan kepemimpinan Trump.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement