REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Raja Yordania Abdullah pada Rabu (13/12) menolak upaya mengubah status Yerusalem atau tempat-tempat sucinya, dan mengatakan perdamaian tidak akan datang ke wilayah tersebut tanpa adanya resolusi konflik Israel-Palestina.
"Semua kekerasan adalah akibat dari kegagalan menemukan solusi damai untuk masalah Palestina," katanya pada pertemuan darurat para pemimpin Muslim di Turki.
Dinasti Raja Abdullah Hashemite adalah penjaga tempat suci umat Islam di Yerusalem sehingga Yordania sangat sensitif terhadap perubahan status setelah keputusan pemerintahan Trump mengakuinya sebagai ibu kota Israel.
Sementara itu negara-negara Arab dan masyarakat Muslim di seantero Timur Tengah mengecam pengakuan Amerika Serikat atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Mereka menganggap pengakuan itu sebagai langkah yang memanas-manasi wilayah yang bergejolak.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas, dalam pidato yang direkam sebelumnya, mengatakan Yerusalem merupakan ibu kota abadi Negara Palestina dan langkah Trump itu sama saja dengan Amerika Serikat sedang melepaskan peranannya sebagai penengah perdamaian.
Putaran terakhir perundingan perdamaian Israel-Palestina yang ditengahi Washington buyar pada 2014. Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-bangsa menyuarakan kehawatiran atas keputusan Presiden AS Donald Trump memindahkan kedutaan besar AS di Israel ke Yerusalem. Mereka juga mengkhawatirkan akibat yang ditimbulkan Trump terhadap upaya menghidupkan kembali proses perdamaian Israel-Palestina.
Banyak negara sekutu AS juga menentang pembalikan kebijakan AS bertahun-tahun serta kebijakan luar negeri AS atas Yerusalem. Prancis menentang keputusan sepihak itu dan, pada saat yang sama meminta semua pihak di kawasan tetap tenang.
Inggris mengatakan langkah Trump itu tidak membantu upaya perdamaian dan Yerusalem pada akhirnya harus dibagi untuk Israel dan negara Palestina di masa depan. Jerman menyatakan status Yerusalem harus ditentukan melalui kerangka penyelesaian dua-negara.
Presiden Lebanon Michel Aoun mengatakan pengakuan atas Yerusalem merupakan keputusan yang berbahaya dan mengancam kredibilitas Amerika Serikat sebagai mediator perdamaian Timur Tengah.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan tidak ada alternatif terhadap penyelesaian dua-negara antara Israel dan Palestina dan bahwa Yerusalem merupakan masalah penentuan status yang harus diselesaikan melalui perundingan langsung.
Dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Trump menunjukkan ia tidak peduli dengan peringatan yang berdatangan dari seluruh dunia bahwa pengakuan itu berisiko menimbulkan konflik memburuk terhadap situasi di Timur Tengah yang sudah ricuh.
Yerusalem merupakan tempat suci bagi para penganut Islam, Yahudi dan Kristen. Wilayah timur kota itu direbut oleh Israel dalam perang 1967 dan dinyatakan oleh Palestina sebagai ibu kota negara independen mereka kelak.