Rabu 31 Jan 2018 01:32 WIB

PLO: Tidak Ada Lagi Negosiasi Kecuali Trump Tarik Ucapannya

Pengakuan Trump dinilai mengubah jalannya negosiasi.

Rep: Fergie Nadira/ Red: Agung Sasongko
Yerusalem
Yerusalem

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Sekretaris Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sekaligus Juru Runding rakyat Palestina, Saeb Erekat mengatakan, keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel adalah bagian dari era Amerika baru yang bergerak dari negosiasi ke diktator.

Menurut Erekat, orang-orang Palestina dihadapkan pada apa yang mereka lihat bahwa pemerintah AS bertujuan mengadakan sebuah konferensi internasional dalam upaya untuk menunjukkan dukungan global bagi solusi dua negara terhadap konflik tersebut.

"Begitu ada orang Palestina yang pergi dan bertemu dengan pejabat Amerika, ini adalah penerimaan keputusan mereka. Sekarang mereka mengancam kita dengan uang, dengan bantuan. Mereka berjanji untuk tidak memaksakan solusi apa pun, dan sekarang mereka menginginkan pertemuan demi pertemuan tersebut," kata Erekat dilansir scmp.com, Rabu (31/1)

Erekat mengatakan, seolah-olah AS mengajak orang-orang Palestina, "Kemarilah, Nak, kami tahu apa yang baik untukmu."

Status Yerusalem barangkali merupakan isu paling sensitif dalam konflik Israel-Palestina. Israel melihat seluruh kota sebagai ibukota yang tak terbagi, sementara Palestina menginginkan sektor timur sebagai ibu kota negara masa depan mereka.

Israel menduduki Yerusalem timur dalam Perang Enam Hari 1967 dan kemudian mencaploknya. Tindakan itu tidak pernah diakui oleh masyarakat internasional.

Pengakuan sepihak Trump pecah dengan konsensus internasional selama puluhan tahun bahwa status kota harus dinegosiasikan antara kedua belah pihak. Pemimpin AS itu mengatakan dia masih bermaksud untuk mencapai apa yang dia sebut "kesepakatan akhir" atau perdamaian Israel-Palestina, namun presiden Palestina Mahmoud Abbas telah menyebut upayanya itu sebagai "tamparan abad ini".

Pemerintahan Trump juga menyerang Abbas pekan lalu, dengan duta besar PBB Nikki Haley yang mengatakan bahwa dia tidak memiliki keberanian yang dibutuhkan untuk kesepakatan damai. Sementara itu, menjawab komentar Haley dengan sebuah seruan, "kudeta".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement