REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Perwakilan dari Mesir, Suriah, Lebanon, Transyordania (sekarang Yordania), Arab Saudi, Irak, dan Yaman mengadakan pertemuan di Kairo pada 22 Maret 1945 untuk mendirikan Liga Arab. Liga Arab adalah sebuah organisasi regional khusus negara-negara Arab, yang juga dikenal dengan nama al-Jamia ad-Duwal al-Arabiyah dan al-Jamia al-Arabiyah.
Dilansir dari Britannica, tujuan dibentuknya Liga Arab adalah untuk memperkuat dan mengkoordinasikan program politik, budaya, ekonomi, dan sosial para negara anggotanya. Organisasi tersebut juga dibuat untuk menengahi perselisihan di antara mereka atau antara mereka dan pihak ketiga.
Ketika negara Israel diciptakan pada 1948, negara-negara Liga Arab bersama-sama menyerang, tetapi kemudian dipukul mundur oleh Israel. Dua tahun kemudian, pada 13 April 1950, Liga Arab melakukan penandatanganan perjanjian tentang pertahanan bersama dan kerja sama ekonomi.
Liga tersebut juga melakukan penandatangan koordinasi langkah-langkah pertahanan militer. Lebih dari 15 negara Arab lainnya akhirnya bergabung dengan organisasi tersebut, yang membentuk pasar bersama pada 1965.
Negara-negara Arab yang menyusul menjadi anggota Liga Arab adalah Libya (1953); Sudan (1956); Tunisia dan Maroko (1958); Kuwait (1961); Aljazair (1962); Bahrain, Oman, Qatar, dan Uni Emirat Arab (UEA) (1971); Mauritania (1973); Somalia (1974); Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) (1976); Djibouti (1977); dan Komoro (1993). Ketika Yaman masih terbagi dua rezim, dari 1967 hingga 1990 kedua rezim negara tersebut secara terpisah memiliki wakil di Liga Arab.
Negara-negara anggota kemudian membentuk Dewan Liga. Setiap anggota memiliki satu hak suara dalam dewan tersebut, sehingga keputusan dewan hanya mengikat pada negara-negara yang telah memilih.
Pada tahun-tahun awal, Liga Arab fokus pada program ekonomi, budaya, dan sosial. Pada 1959, liga ini mengadakan kongres minyak bumi Arab pertama dan pada 1964 mendirikan Arab League Educational, Cultural, and Scientific Organization (ALECSO).
Pada 1964, Liga Arab meningkatkan status PLO dari pengamat ke perwakilan Palestina, meski sempat ada keberatan dari Yordania. Palestina kemudian mendapatkan keanggotaan penuh Liga Arab pada 1976.
Di bawah kepemimpinan sekretaris jenderal ketiga Mahmoud Riad (1972-1979), aktivitas politik di organisasi itu meningkat. Liga Arab kemudian dilemahkan oleh perselisihan internal terhadap isu-isu politik, terutama yang menyangkut Israel dan Palestina.
Setelah Mesir menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada 26 Maret 1979, anggota lain dari Liga Arab memilih untuk menangguhkan keanggotaan Mesir. Mereka memindahkan markas Liga Arab dari Kairo ke Tunis. Mesir kembali menjadi anggota Liga Arab pada 1989 dan markas liga kembali ke Kairo pada 1990.
Invasi Irak ke Kuwait pada 1990 telah menyebabkan keretakan yang mendalam di dalam liga. Apalagi ada keterlibatan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat (AS), atas permintaan Arab Saudi untuk menyingkirkan Kuwait di Irak.
Liga Arab dipaksa beradaptasi dengan perubahan mendadak di dunia Arab ketika protes massal yang dikenal dengan Arab Spring pecah di beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika Utara pada akhir 2010 dan awal 2011. Pada Maret 2011, Liga Arab memberikan suara untuk mendukung zona larangan terbang di atas Libya. Hal itu dilakukan guna melindungi pemberontak dari serangan udara pasukan loyalis rezim pemimpin Libya Muammar al-Qaddafi.
Zona larangan terbang berevolusi menjadi intervensi militer internasional yang lebih luas. Operasi militer berkontribusi pada penggulingan Qaddafi pada Agustus.
Pada awal November, Liga Arab mengumumkan mereka telah mencapai kesepakatan dengan pemerintah Suriah untuk mengakhiri perang saudara yang telah terjadi di negara itu selama 10 bulan. Namun kurang dari dua minggu kemudian, di tengah laporan bahwa pasukan Suriah terus melakukan serangan, Liga Arab memilih untuk menangguhkan keanggotaan Suriah.