Senin 08 Jan 2018 03:12 WIB

Kelas Pekerja Iran yang Terabaikan Pemicu Kemarahan Rakyat

Rep: Crystal Liestia Purnama/ Red: Budi Raharjo
Seorang mahasiswa berdemonstrasi di depan Universitas Teheran, Teheran, Iran, Sabtu (30/12).
Foto: AP Photo
Seorang mahasiswa berdemonstrasi di depan Universitas Teheran, Teheran, Iran, Sabtu (30/12).

REPUBLIKA.CO.ID,TEHERAN -- Aksi unjuk rasa pecah selama beberapa hari di Iran yang terjadi di puluhan kota, terutama kota-kota kecil seperti Doroud. Di mana tingkat pengangguran paling menyakitkan dan banyak di antara kelas pekerja yang merasa diabaikan. Padahal, kelas pekerja telah lama menjadi basis dukungan bagi garis keras Iran.

Para pengunjuk rasa meluapkan kemarahannya melawan ulama yang berkuasa dan Garda Revolusi Elite menuduh pemerintah memonopoli ekonomi dan menyerap kekayaan negara tersebut. Para pengunjuk rasa secara mengejutkan memperlihatkan penolakan terhadap sistem pemerintahan Iran oleh para ulama Islam.

Di bawah Republik Islam Iran, yang berlaku sejak 1979, pemerintahan pimpinan ulama memiliki kekuasaan yang cukup besar atas badan-badan terpilih seperti parlemen dan kepresidenan. Di puncak kepemimpinan berdiri Ayatollah Ali Khamenei, yang disebut sebagai PemimpinTertinggi. Dia memiliki keputusan akhir mengenai semua masalah negara.

Mereka membuat seorang pria menjadi dewa dan bangsa menjadi pengemis! Ulama pemimpin, berikan uang kami kembali! Demikian salah satu teriakan yang terdengar dalam unjuk rasa tersebut.

Kemarahan dan frustasi atas ekonomi telah menjadi bahan bakar utama meletusnya demonstrasi yang dimulai sejak 28 Desember tersebut. Presiden Rouhani yang relatif moderat, telah berjanji untuk mencabut sebagian besar sanksi internasional di bawah kesepakatan nuklir 2015 Iran dengan Barat yang diperkirakan akan menghidupkan kembali ekonomi Iran yang telah menderita.

Sementara dengan berakhirnya sanksi tersebut dapat membuka arus masuk baru dari kenaikan ekspor minyak, namun hanya sedikit yang menetes ke kalangan penduduk yang lebih luas. Pada saat yang sama, Rouhani telah menerapkan kebijakan penghematan yang membuat rumah tangga sulit.

Pemicu awal aksi demonstrasi tersebut adalah lonjakan harga pangan secara tiba-tiba. Diyakini pihak oposisi menghasut unjuk rasa pertama di kota Masyhad yang konservatif di Iran timur, yang berusaha mengarahkan kemarahan publik pada presiden Hassan Rouhani.

Pemicu kemarahan rakyat selanjutnya adalah anggaran untuk tahun depan yang diluncurkan Rouhani pada pertengahan Desember, yang menyerukan pemotongan pembayaran dana insentif tunai secara signifikan yang ditetapkan oleh pendahulunya, Mahmoud Ahmadinejad dari garis keras, sebagai bentuk peningkatan kesejahteraan langsung. Anggaran tersebut juga mempertimbangkan lonjakan harga bahan bakar minyak yang baru.

Di samping pemangkasan tersebut, anggaran baru itu justru direncanakan untuk meningkatkan anggaran dana yang besar untuk yayasan religius, yang menjadi bagian penting dari negara yang dipimpin mulah tersebut. Di mana untuk pos tersebut dialokasikan dana sekitar ratusan juta dolar AS setiap tahun yang diambil dari anggaran umum. Yayasan-yayasan tersebut meliputi sekolah agama, badan amal, yang berkaitan dengan mulah yang berkuasa, dan seringkali berfungsi sebagai mesin untuk patronase dan propaganda untuk membangun dukungan bagi otoritas mereka.

"Hal-hal yang seharusnya tidak terlalu mahal untuk membuat orang harus berteriak, karena pejabat tidak peduli dengan rakyat," kata seorang warga yang tinggal di Teheran, Nasser Nazari, meskipun dia mengakui bahwa demonstrasi bukanlah cara (yang tepat) untuk bereaksi seperti ditulis AP.

Saat mengumumkan anggarannya, Rouhani mengakui bahwa pemerintahannya tidak memiliki pendapat mengenai sebagian besar pengeluaran tersebut dan mengeluhkan kurangnya transparansi mengenai dana yang masuk ke yayasan. "Mereka hanya mengambil uang dari kita," tuturnya. Jika kita bertanya, dari mana Anda menghabiskan uang? Mereka berkata: Bukan urusanmu, kita menghabiskannya ditempat yang kita sukai.

Program ekonomi Rouhani berfokus pada upaya untuk mengendalikan pengeluaran pemerintah dan membangun sektor swasta dan investasi. Kebijakannya berhasil menarik inflasi, turun dari angka dua digit tinggi yang telah lama dan merayap ke 110 persen pada bulan lalu.

Setelah mencabut sebagian besar sanksi pada awal 2016, ekonomi mendapat dorongan besar, dengan pertumbuhan PDB 13,4 persen pada 2016, dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang menurun 11,3 persen, menurut Bank Dunia. Hampir semua pertumbuhan PDB itu berasal dari sektor minyak, di mana ekspor melonjak dari sekitar satu juta barel per hari pada 2015 menjadi sekitar 2,1 juta barel per hari pada 2017. Sedangkan pertumbuhan di luar sektor minyak berada di porsi 3,3 persen.

Investasi asing utama, yang oleh Rouhani disebut sebagai keuntungan lain untuk membuka dunia, gagal terwujud. Sebagian karena sanksi AS yang terus berlanjut menghambat akses terhadap perbankan internasional dan ketakutan sanksi lainnya dapat kembali terjadi.

Tingkat pengangguran resmi Iran mencapai 12,4 persen, dan pengangguran di kalangan muda (penduduk dengan rentang usia 19 sampai 29 tahun) telah mencappai 28,8 persen, menurut Pusat Statistik Iran.

Provinsi-provinsi menghadapi kesulitan ekonomi yang lebih besar. "Tingkat pendapatan dan layanan sosial dipinggiran lebih rendah, tingkat pengangguran semakin tinggi, dan banyak penduduk menderita tantangan kesehatan dan mata pencaharian yang luas yang berasal dari kerusakan ekologis," tulis seorang profesor tamu di Pusat Studi Eurasia, Rusia, dan Eropa Timur Universitas Georgetown, Brenda Shaffer.

Penderitaan itu juga terjadi di Ibu Kota, Teheran, dan juga kota-kota besar lainnya. Meskipun di kota-kota besar itu tidak terlalu kering dengan jumlah masyarakat kelas menengah lebih banyak. Banyak dari mereka yang membiarkan sisa makanan menjadi sampah. Namun pada Desember 2016, masyarakat Iran, termasuk Rouhani, dibuat terkejut dengan serangkaian foto yang dimuat di sebuah surat kabar lokal yang menunjukkan pecandu narokoba yang tidur di atas makam terbuka di Shariar, di pinggiran barat Teheran.

Kota Doroud menjadi garis depan dalam demonstrasi yang meletus di Iran dalam sepekah terakhir. Beberapa ribu penduduk telah ditunjukkan video para demonstran yang menyusuri jalan utama Doroud secara daring. Para demonstran itu meneriakkan, matilah diktator!

Pada malam hari para pemuda menembaki kantor wali kota dari luar gerbang dan melemparkan batu ke bank. Sediitnya dua rang telah terbunuh, kabarnya (kematian dua korban itu) terjadi saat pasukan keamanan melepaskan tembakan. Setidaknya aksi unjuk rasa yang berujung kerusuhan itu telah menelan 21 jiwa sejauh ini.

Seharusnya kota Doroud menjadi kota yang makmur. Kota itu terletak di sebuah lembah di persimpangan dua sungai di Pegunungan Zagros, berada di daerah yang kaya akan logam dan batu yang bisa ditambang. Dan tahun lalu, sebuah pabrik militer di pinggiran kota meluncurkan produksi model tangki yang canggih.

Namun dalam beberapa bulan pejabat setempat telah meminta agar pemerintah menyelamatkan ekonomi kota tersebut yang stagnan. Pengangguran mencapi sekitar 30 persen, jauh di atas tingkat pengangguran nasional resmi. Para lulusan sarjana tidak mendapatkan pekerjaan.

Pabrik baja dan semen lokal berhenti berproduksi sejak lama dan pekerjanya belum dibayar selama berbulan-bulan. Karyawan pabrik militer, terutama orang luar yang tinggal tanah tempat berdirinya pabrik tersebut terpisah dari ekonomi lokal.

"Pengangguran berada di tingkat puncak. Sayangnya negara tidak memperhatikan," kata perwakilan parlemen daerah untuk kota Doroud, Majid Kiyanpour. Itulah yang menjadi alasan kota berpenduduk 170 ribu jiwa itu menjadi garis depan dalam demonstrasi besar tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement