Sabtu 11 Sep 2021 06:25 WIB

Pemerintah Baru Lebanon Resmi Terbentuk, Tugas Berat Menanti

Lebanon menghadapi krisis multidimensi yang membuat negara itu terpuruk

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nashih Nashrullah
Lebanon menghadapi krisis multidimensi yang membuat negara itu terpuruk. Ilustrasi Kota Beirut Lebanon
Foto: AP/Hussein Malla
Lebanon menghadapi krisis multidimensi yang membuat negara itu terpuruk. Ilustrasi Kota Beirut Lebanon

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Para pemimpin Lebanon menyetujui pemerintahan baru yang dipimpin  taipan Muslim Sunni Najib Mikati pada Jumat (10/9).

Persetujuan ini terjadi setelah setahun negara itu mengalami perseteruan atas kursi kabinet yang telah memperburuk keruntuhan ekonomi yang menghancurkan.  

Baca Juga

Mikati dan Presiden Michel Aoun dari Kristen Maronit, menandatangani dekrit pembentukan pemerintahan di hadapan ketua parlemen dari Muslim Syiah Nabih Berri. 

Dalam komentar yang disiarkan televisi, mata Mikati berlinang air mata dan suaranya pecah saat menggambarkan kesulitan dan emigrasi yang ditimbulkan krisis.  

Menurut Mikati politik yang memecah belah harus dikesampingkan. Dia tidak bisa melakukan pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) jika hanya untuk menghadapi oposisi di dalam negeri. 

Mikati berjanji untuk mencari dukungan dari negara-negara Arab. Beberapa di antaranya telah menghindari Lebanon karena pengaruh luas yang dimiliki kelompok Islam Syiah yang didukung Iran, Hizbullah, yang bersekutu dengan Aoun. 

Mengatasi kesulitan sehari-hari, Mikati menggambarkan bagaimana para ibu terpaksa mengurangi susu untuk anak-anaknya.  "Jika putra sulung seorang ibu meninggalkan negara dan dia berlinang air mata, dia tidak bisa membeli pil Panadol," katanya merujuk pada kekurangan obat-obatan. 

Mikati mengakui saat ini Lebanon tidak mampu lagi mensubsidi barang-barang seperti bahan bakar impor. Kondisi itu akibat negara itu tidak memiliki cadangan mata uang yang cukup. 

Aoun mengatakan pemerintah saat ini adalah yang terbaik yang bisa disepakati dan mampu bertindak. Menurut sumber-sumber politik senior Lebanon, terobosan itu menyusul serangkaian kontak dari Prancis. 

Negara itu yang telah memimpin upaya untuk membuat para pemimpin Lebanon yang terpecah belah untuk menyetujui kabinet dan memulai reformasi sejak bencana ledakan pelabuhan Beirut tahun lalu.  

Seperti kabinet Perdana Menteri Hassan Diab sebelumnya, kabinet baru terdiri dari menteri-menteri dengan keahlian teknis yang bukan politisi terkemuka. Namun, mereka telah ditunjuk partai-partai utama. 

Pemerintah Diab gagal memberlakukan reformasi besar apa pun yang dicari   donor asing. Tugas itu diperumit perlawanan dari pemain utama dalam politik sektarian dan faksi Lebanon. 

"Saya pikir (Mikati) memiliki peluang 50-50 untuk mencapai apa pun. Apakah Anda melihatnya dalam hal program dengan IMF, atau bantuan dari negara-negara Arab," kata ekonom Toufic Gaspard, yang telah menjadi penasihat IMF dan Kementerian Keuangan Lebanon.  

Mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab seperti Arab Saudi akan bergantung pada menghadapi pengaruh Hizbullah. Sementara mengamankan program IMF akan membutuhkan reformasi yang gagal dilakukan oleh pemerintah sebelumnya. "Ini adalah permainan politik yang sangat rumit. Ini tidak akan mudah," kata Gaspard. 

Mikati adalah perdana menteri ketiga yang ditunjuk untuk mencoba membentuk pemerintahan sejak Diab mundur setelah ledakan pelabuhan. Mikati ditunjuk setelah Saad Al Hariri, mantan perdana menteri, mengabaikan usahanya. 

Hariri saling menyalahkan atas kegagalan tersebut dengan Aoun. Lawan politiknya menuduh Aoun dan partai politiknya mencari hak veto yang efektif dalam pemerintahan baru dengan menuntut sepertiga kursi. Aoun telah membantahnya berulang kali. 

Ancaman terhadap stabilitas Lebanon sejak perang saudara 1975-90. Krisis memuncak pada akhir 2019, berasal dari puluhan tahun korupsi di negara bagian dan pembiayaan yang tidak berkelanjutan.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement