Kamis 05 Jan 2023 17:06 WIB

Suriah Devaluasi Mata Uang Kedua Kalinya dalam Empat Bulan

Bank sentral menurunkan nilai tukar resmi menjadi 4.522 pound Suriah terhadap dolar

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Friska Yolandha
Rezim Suriah  mendevaluasi mata uang untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari empat bulan
Foto: AP Photo/Ghaith Alsayed
Rezim Suriah mendevaluasi mata uang untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari empat bulan

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Rezim Suriah mendevaluasi mata uang untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari empat bulan, karena situasi ekonomi negara itu terus memburuk secara drastis. Bank Sentral Suriah menurunkan nilai tukar resmi menjadi 4.522 pound Suriah terhadap dolar AS, turun dari nilai tukar resmi sebelumnya sebesar 3.015 pound terhadap dolar.

Dilaporkan Middle East Monitor, Rabu (4/1/2023), devaluasi ini adalah yang kedua dalam waktu kurang dari empat bulan setelah Bank Sentral melemahkan mata uang nasional dari 2.814 pound terhadap dolar AS pada bulan September. Sementara itu, nilai dolar AS yang diperdagangkan di pasar gelap mencapai sekitar 6.500 pound Suriah.

Baca Juga

Mata uang Suriah telah menurun drastis, sejak pecahnya perang saudara lebih dari satu dekade lalu. Mata uang Suriah anjlok karena para pedagang dan warga memprioritaskan dolar AS daripada pound Suriah untuk melindungi tabungan mereka dari jatuhnya nilai tukar.

Rezim Bashar Al-Assad telah merebut kembali sebagian besar wilayah Suriah dengan bantuan Rusia dan Iran. Namun penurunan ekonomi yang tajam terus berlanjut karena beberapa faktor lain termasuk korupsi internal yang meluas, sanksi Barat, serta keruntuhan politik dan ekonomi di negara tetangga, Lebanon.

Rata-rata warga Suriah menanggung beban situasi ekonomi yang mengerikan. Tingkat kemiskinan naik setidaknya 90 persen. Sementara elit politik dan bisnis menghindari sanksi dan kesulitan ekonomi dengan memanfaatkan perusahaan cangkang di seluruh dunia. Mereka terus hidup dalam kemewahan  dan kerap membanggakan pesta mewah di media sosial. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement